Beberapa tahun terakhir, salah satu tradisi masyarakat Bugis-Makassar cukup ramai diperbincangkan. Wajar saja, tradisi pra pernikahan tersebut mampu menghabiskan nominal uang hingga ratusan juta bahkan milyaran rupiah. Uang pannai’ secara teknis pelaksanaan tergabung dalam prosesi “madduta” (pelamaran).
Secara sederhana, uang Pannai’ dapat diartikan sebagai besaran uang pinangan, yang akan diberikan oleh pihak calon mempelai laki-laki, kepada calon mempelai perempuan, untuk membiayai acara pernikahan. Uang pannai’ berbeda dengan mahar. Kedua istilah tersebut memang memang memiliki persamaan, yaitu sama-sama kewajiban. Namun, jika dilihat dari sejarah yang melatarbelakanginya, kedua hal tersebut jelas berbeda. Mahar adalah kewajiban dalam islam, sedangkan uang pannai’ adalah kewajiban menurut adat dan tradisi setempat.
Merujuk pada sejarah, terdapat dua referensi yang berbeda. Pada referensi pertama menjelaskan bahwa asal mula uang Pannai’ dimulai pada masa penjajahan Belanda. dahulu, pemuda Belanda seenaknya menikahi perempuan Bugis-Makassar yang mereka inginkan. Setelah menikah, biasanya mereka kembali tergiur untuk menikahi perempuan lain, setelah melihat kecantikannya. Budaya seperti itu membekas pada masyarakat Bugis-Makassar dan menjadi doktrin bagi pemuda lainnya untuk bebas menikah lalu meninggalkan seenaknya.
Budaya itu berubah setelah seorang pemuda bermaksud menikahi seorang perempuan dari keturunan bangsawan. Pihak keluarga perempuan tentu menolak karena beranggapan bahwa laki-laki tersebut merendahkan mereka karena melamar anak mereka tanpa keseriusan sama sekali. Berangkat dari hal tersebut, pihak keluarga perempuan memberikan syarat pra pernikahan kepada pihak laki-laki untuk mengangkat derajat wanita pada saat itu.
Pada referensi yang lain, histori uang pannai’ digambarkan bahwa pada masa kerajaan Bone dan Gowa Tallo, Kabupaten Gowa merupakan daerah wilayah inti kerajaan Gowa yang dimana diketahui dalam sejarah pada abad ke XVII kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaanya di bawah pemerintahan Sultan Muhammad Said Tumenangari Ball‟ Pangkana.
Pada masa itu kerajaan Gowa memegang Hegemoni dan supremasi didaerah Sulawesi Selatan, bahkan didaerah Indonesia bagian timur. Dimana ketika seseorang laki-laki ingin meminang keluarga dari kerajaan atau keturunan raja maka dia harus membawa seserahan yang menunjukkan kemampuan mereka untuk memberikan kesejahteraan dan kenyamanan bagi istri dan anak-anaknya kelak dengan kata lain lelaki tersebut diangkat derajatnya dan isi seserahan itu berupa Uang panai’ yang menjadi syarat wajib dan mutlak untuk mereka penuhi.
Uang panai’ kemudian berkembang hingga lapisan kasta bawah bila ingin menikahi anak gadis dari masyarakat suku Bugis, anggapan mereka tentang Uang panai’ yang tinggi akan bertujuan untuk mengetahui kesungguhan laki-laki yang ingin menikahi anak gadisnya.
Merujuk terhadap latar belakang atau historisitas uang Pannai’, menegaskan bahwa adanya tradisi uang Pannai’ menepis persepsi bahwa tradisi tersebut menjadi alibi untuk memanfaatkan materi dari suatu pernikahan, melainkan untuk mempertahankan harga diri dari keluarga perempuan berdasarkan historisitas tradisi uang Panai’.
Tradisi uang Pannai’ memang berkaitan erat dengan watak masayarakat Bugis-Makassar yaitu Siri’ na Pacce. Siri’ berarti rasa malu (harga diri), dipergunakan untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau menginjak-injak harga dirinya. Sedangkan Pacce dalam Bahasa bugis disebut pesse, yang berarti pedih/pedis, (kokoh pendirian). Jadi pacce berarti kecerdasan emosional untuk turut merasakan kepedihan atau kesusahan individu dalam komunitas.
Besaran uang Panai’ sendiri dipengaruhi oleh status sosial yang melekat pada orang yang akan melaksanakan pernikahan, baik dari pihak laki-laki, maupun perempuan. Selain itu, tingkat pendidikan, strata sosial, faktor kekayaan, faktor popularitas, serta keturunan , menjadi beberapa aspek yang mempengaruhi nominal uang Panai’.
Beberapa tahun terakhir, uang pannai’ ramai dibahas akibat tingginya nominal uang yang diberikan pada calon mempelai wanita, terkhusus di daerah Sulawesi Selatan. Tak tanggung-tanggung, uang ratusan hingga milyaran rupiah rela digelontorkan kepada wanita idaman para lelaki Bugis-Makassar. Namun, beberapa pihak justru menganggap adanya pergesaran nilai dari uang pannai’ yang justru lebih mengarah ke gengsi dan dimanfaatkan sebagai ajang pamer harta.