Sejarah mencatat bahwa HMI merupakan lokomotif perjuangan dan wadah pengkader pemimpin-pemimpin bangsa. Pada masa awal kelahirannya, HMI menghimpun kekuatan mahasiswa-mahasiswa Islam untuk membangun imajinasi kolektif yang ideologis bernafaskan Islam untuk berjuang melawan para penjajah.
HMI juga menjadi benteng ideologis dari paham-paham yang tidak sejalan dengan kepribadian dan citra bangsa. HMI juga yang menjadi sumbu api gerakan reformasi melawan otoritarianisme dan juga melahirkan tokoh-tokoh perubahan Indonesia.
Hanya saja, memori manis perjuangan itu nampaknya hanya sebagai kenangan yang tak dijadikan pijakan untuk melakukan perubahan lanjutan dan justru malah mulai tergradasi oleh cengkraman-cengkraman kekuasaan.
Semangat juang dan agenda-agenda perubahan HMI kini tak lagi terendus baunya. Tidak ada lagi semangat kolektif untuk membangun narasi-narasi yang bisa menggoyang dan mengontrol laju kekuasaan yang mulai lepas kendali, setidaknya ada suara yang dapat diperhitungkan.
Yang ada, tubuh HMI dikoyak-koyak oleh kepentingan. HMI bahkan banyak porosnya dan saling adu kekuatan dengan bergantung pada dana-dana investor politis yang menyokongnya. Kecil sekali kemungkinan untuk membangun narasi yang benar-benar diserap dari akar rumput, dari hasil kumpulan aspirasi-aspirasi mahasiswa yang murni untuk keberpihakan pada rakyat dan yang tertindas bukan pesanan. Persoalan utamanya adalah tidak ada kemandirian dan kemerdekaan finansial untuk menggerakan organisasinya.
Meskipun begitu, optimisme tetap harus dibangun, dan HMI setidaknya harus tetap merawat idealismenya untuk menjaga jarak dengan kekuasaan dan selalu kritis. Upaya menjaga idealisme perjuangan dan independensi organisasi salah satunya adalah melalui kajian-kajian kritis berdasar pada nilai-nilai Islam yang progresif dan membangun kemandirian serta kemerdekaan finansial. Bagaimanapun, wacana tanpa dana hanya berujung pada onani idealita.
HMI memiliki peran yang sangat strategis untuk Indonesia yaitu melalui skema perkaderannya. Perkaderan di HMI jika benar-benar dapat diimplementasikan secara baik dan benar akan mengkader pemimpin-pemimpin bangsa yang tajam intelektualnya, tinggi solidaritas sosialnya, kuat ekonominya, dan benar-benar peduli pada rakyatnya.
Hanya dengan itu HMI akan mendapatkan kembali wajah cerah barunya yang telah lama berada di jurang kehampaan dan kembali menjadi HMI Harapan Masyarakat Indonesia seperti yang dikatakan Jenderal Soedirman.
Yang belum ada dari HMI adalah skema perjuangannya. HMI bak wadah yang multi-aspek yang pada gilirannya kader HMI tidak memiliki isu yang kuat untuk didialogkan. Kader HMI diberi kebebasan untuk memilih masing-masing jalannya untuk bergelut di berbagai bidang, baik agama, ekonomi, hukum, politik, lingkungan dan lainnya. Ini yang kemudian sedikit membawa kebingungan isu, meskipun lagi-lagi nampaknya, isu politik lebih dominan.
Meskipun begitu, mungkin itu juga bisa menjadi kekuatan HMI sebagai organisasi generalis sehingga bisa mengakomodir segala aspek. Namun yang perlu diduduk-pikirkan bersama adalah bagaimana skema praktis perjuangannya. Strategi-taktis apa yang kemudian bisa HMI berikan secara efektif memberikan jawaban-jawaban terhadap beragam permasalahan yang ada.
Terlepas dari itu semua, pada akhirnya, Visi Indonesia Emas 2045 untuk menjadi negara dan bangsa yang Berdaulat, Maju, Adil, dan Makmur yang mana itu juga merupakan tujuan HMI hanya dapat diwujudkan oleh model pemimpin-pemimpin yang idealismenya, independensinya, dan ekonominya kuat yang terbentur dan terbentuk dari skema perkaderan HMI yang sebenar-benarnya.
Bagaimanapun, ujung tombak dari sebuah perubahan adalah pemimpinnya, dan peran HMI adalah mengkadernya serta menjaga kontrol jalan kekuasaannya. Tanpa itu semua, lagi-lagi wacana Indonesia Emas haya akan sekedar menjadi angan-angan indah dan slogan saja.