GERPOLEK: Gerilya, Politik, Ekonomi Sebuah Pandangan dari Tokoh Revolusioner Tan Malaka.

Tan Malaka siapa yang tak mengenal sosok beliau. Banyak kisah revolusioner dari jantung pergerakan seorang tokoh yang dihargai kepalanya oleh pemerintahan Belanda sebesar 50.000 dolar. Tokoh satu ini harum namanya dikalangan aktivis akademis dan seluruh antero Indonesia bahkan dunia. Berbicara mengenai karya tulisan beliau, tidak dapat di sebutkan satu persatu namun pada kesempatan kali ini, saya sebagai pengagum tokoh Tan Malaka akan mengupas satu per satu tulisan nya. Salah satunya akan saya hidangkan untuk makanan perjuangan intelektual dan pergerakan yaitu GERPOLEK. Apa itu GERPOLEK, gerpolek adalah singkatan dari Gerilya, Politik, dan Ekonomi.

Lantas, apa maksud dan tujuan dari GERPOLEK, dikatakan dalam bukunya Tan Malaka adalah senjata sang gerilya  untuk membela proklamasi 17 agustus dan melaksanakan kemerdekaan seratus persen yang sekarang merosot ke sepuluh persen itu!. Apa alasan seorang Tan Malaka menyebut kata “merosot sepuluh persen” mari kita lebih dalam masuk dalam ruang intelektual dalam bukunya ini. Alasan mengapa Tan Malaka menyebutkan itu adalah bahwa pada tahun 1945-1948 diartikan olehnya sebagai tahun kemorosotan republik Indonesia. Kenapa bisa seperti itu, karena bagi Tan Malaka Indonesia menurun dalam segi politik, ekonomi, kemiliteran, diplomasi dan semangat.

Baginya, pada tahun 1945-1948 adalah tahun dua musim revolusi. Bagaimana tidak, semulanya pada tanggal 17 agustus sebagai deklarasi kemerdekaan yang didukung oleh seluruh rakyat Indonesia pada saat itu yang digambarkan oleh Tan Malaka sebagai perjuangan Massa Aksi atau Aksi Murba diganti dengan aksi berdiplomasi. Lalu apa dasarnya Tan Malaka membagi dua musim revolusi ini, karena Tan Malaka mendengar keterangan dari bekas perdana Menteri Amir Syarifudin bahwa dalam sidang Mahkamah Agung dalam pemeriksaan peristriwa 3 juli maka nyatalah bahwa penangkapan para pemimpin persatuan perjuangan di Madiun ada hubungannya dengan diplomasi-berunding.

Menurut keterangan Amir Syarifudin bahwa penangkapan itu dilakukan atas dasar dari permintaan delegasi Indonesia. Surat penangkapan bukanlah atas dasar inisiatif dari republic Indonesia melainkan suatu “concessie” atau penyerahan hak dari pihak republik ke pemerintahan  Inggris-Belanda. Maka atas dasar desakan dari negara lain secara otomatis sudah menerima permintaan negara musuh untuk menangkap warga negaranya sendiri. Tan Malaka berkata bahwa “Cuma celakalah warga negara yang menjadi korban concessie itu dan lebih celakalah pula negara Indonesia yang terlanggar kedaulatannya”.

Perhitungan dari Tan Malaka mengenai letak posisi politik, ekonomi, militer, sosial-politik sebagai berikut:

  1. Dalam segi politik Indonesia yang sebelumnya mempunyai tanah seluas 700.000 mil persegi tanah dan pir lebih kurang 4.500.000 mil persegi berubah Ketika pengakuan “de facto” linggarjati maka tanah jawa-sumatera yang berada di bawah kekuasaan republik Indonesia hanya 210.000 mil persegi atau 30 % dari seluruh daratan Indonesia serta laut pesisir jawa-sumatera yang menerima 225.000 mil atau sekitar 5% dari tanah dan air seluruhnya Indonesia.
  2. Dari segi penduduk setelah menerima “de facto” yang sebelumnya 70 juta jiwa berubah menjadi 50 juta penduduk. Tetapi dalam penandatanganan RENVILLE dan berdiri nya empat negara baru dalam jawa-sumatra maka republik akan menerima hanya 23 juta jiwa atau 33% dari seluruhnya Indonesia.
  3. Dari segi ekonomi membahas di dalam nya mengenai  tentang produksi semua kebun getah, kopi, kina, sisal dll semuanya baik kepunyaan musuh ataupun sahabat berada di dalam kekuasaan republik. Sedangkan dalam musim runtuh berunding yang melibatkan perjanjian Linggarjati dan Renville mengakui bahwa pengembalian hak milik asing maupun milik negara sahabat dan negara musuh memasukkan tentaranya ke negara republik.
  4. Dalam segi militer di musim jaya berjuang semua pertahanan tentara dan Angkatan laut beserta senjata nya dikuasai oleh republik Indonesia. Sedangkan dalam musim runtuh berunding semua Pelabuhan penting seperti Surabaya, semarang, Jakarta, Palembang, medan dan lainnya jatuh ke dalam tangan belanda.
  5. Dalam segi sosial-politik semua organisasi dan partai pada tanggal 4-5 januari tahun 1946 di purwokerto mampu dipersatukan Kembali.sekitar 114 organisasi yang terdiri dari partai, badan dan ketentaraan sepakat Semuanya menentang musuh.sedangkan dalam musim runtuh berunding yang dinyatakan sebagai perundingan dari persatuan perjuangan diganti dengan konsentrasi nasional. Maka timbullah pertentangan tajam antara yang setuju dengan perjanjian Linggarjati dan yang anti-perjanjian tersebut.

Setelah memetakan seperti diatas maka Tan Malaka membahas tentang perang. Dalam halaman 18 Tan Malaka membagi jenis peperangan menjadi dua yaitu perang yang dilakukan oleh negara ceroboh terhadap negara lain dengan maksud memeras dan menindas negara lain. Jenis kedua yaitu perang yang disambut oleh suatu negara yang diserang untuk mengelakkan diri dari serangan atau bagi membebaskan diri dari si pemeras dan penindas dari negara lain. Bagi Tan Malaka perang jenis pertama adalah perang penindasan sedangkan yang kedua adalah jenis perang kemerdekaan. Perang penindasan dilakukan pada zaman kapitalisme yang disebut dengan Tan Malaka sebagai perang imperialisme.

Hasrat dari peperangan imperialisme adalah untuk merebut bahan pabrik serta bahan makanan dari negara yang hendak ditaklukan. Selanjutnya untuk merebut pasaran dari negara takluk dan negara jajahan berguna untuk menjualkan barang pabrik yang dihasilkan negara menang atau negara penjajah. Terakhir, untuk menanamkan modal kaum penjajahan dalam kebun tambang, pabrik, pengangkutan, perdagangan serta bank asuransinya di jajahan yang dikuasainya itu. Ketiga Hasrat inilah yang menghasilkan negara penjajah sebagai negara yang kaya raya beserta kekuasaan nya bertambah.

Selanjutnya perang kemerdekaan. Perang kemerdekaan dapat dibagi menjadi dua golongan. Perang kemerdekaan pertama adalah yang dilakukan oleh penduduk jajahan melawan negara penjajahan buat melepaskan belenggu yang dipasang oleh negara penjajahan itu diatas dirinya. Perang kemerdekaan semacam ini biasa disebut juga perang kemerdekaan nasional. Perang kemerdekaan kedua adalah dilakukan oleh satu kelas dalam suatu negara melawan kelas lain di antara sesame bangsa dan di dalam satu negara. Perang kemerdekaan ini disebut juga perang saudara atau peperangan sosial. Yang pertama bercorak borjuis sedangkan yang kedua adalah bercorak proletaris. Dari gambaran Tan Malaka diatas patut kita renungi arah dan posisi perjuangan terhadap apa yang terjadi di negara kita sekarang. Apalagi kaum aktivis akademis yang harusnya sebagai poros perlawanan bukan hanya “manut” dan mengikuti arah dari pemimpin negara maupun dari negara asing. Jadikan diri kita sebagai sang gerilya yang bersenjatakan sederhana untuk menghadapi musuh yang bersejantakan lengkap. Salam sayang untuk tokoh kita Bersama Tan Malaka semoga semangat dalam jiwa seorang Tan Malaka selalu hadir dan berkobar dalam diri kita, AAMIIN.

Author: Niko Sulpriyono
Staff Unit Kajian dan Literasi HMI MPO Komisariat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Periode 2020-2021. Kepala Unit Kajian dan Literasi HMI MPO Komisariat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Periode 2021-2022

Leave a Reply

Your email address will not be published.