Mengenal Living Hadis.

Akhir-akhir ini, living hadis menjadi salah satu bidang keilmuan yang cukup masyhur di bidang ilmu ke-ushuluddinan. Di Indonesia, frasa living hadis ataupun saudara kandungnya living Qur’an merupakan frasa yang dipopulerkan oleh para dosen Tafsir Hadis (sekarang menjadi Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir & Prodi Ilmu Hadis) UIN Sunan Kalijaga melalui buku Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis  (2007). (baca Jurnal Living Hadis : Genealogi, Teori, dan Aplikasi)

Dilihat lebih jauh, terma “Living Hadis” sendiri merupakan lanjutan dari istilah living Sunnah. Fazlur Rahman, sebagi penggagas living Sunnah mendefinisikan living Sunnah sebagai aktualisasi tradisi yang hidup dan bersumber Nabi yang kemudian dimodifikasi dan dielaborasi oleh generasi-generasi setelahnya sampai pada masa pra kodifikasi dengan pelbagai perangkat interpretasi untuk dipraktekkan pada komunitas tertentu. (baca Perkembangan Living Hadis Pasca Kenabian)

Secara lebih detail, kemunculan terma living hadis dapat dipetakan menjadi empat bagian. Pertama, living hadis hanyalah satu terminology yang muncul di era sekarang. Melihat dari sejarah, ia telah eksis. Misalnya saja pada tradisi Madinah, ia menjadi living Sunnah, lalu kemudian Sunnah diverbalisasi maka jadilah living hadis. Tentu saja asumsi ini bersamaan dengan anggapan bahwa cakupan hadis lebih luas daripada Sunnah yang secara literal yang bermakna habitual practice.

Kedua, pada awalnya kajian hadis bertumpu pada teks, baik sanad maupun matan. Kemudian, kajian living hadis bertitik tolak dari praktik (konteks), fokus kepada praktik di masyarakat yang diilhami oleh teks hadis. Sampai pada titik ini, kajian hadis tidak dapat terwakili, baik pada maanil hadis maupun fahmil hadis. Titik perbedaannya adalah pada teks dan praktik. Jika maanil/fahmil lebih bertumpu pada teks, living hadis lebih pada praktik yang ada pada masyarakat.

Ketiga, dalam kajian matan dan sanad hadis, sebuah teks hadis harus memiliki standar kualitas hadis, seperti sahih, hasan, daif, maudu. Berbeda dalam kajian living hadis yang merupakan sebuah praktik yang bersandar dari hadis yang tidak mempermasalahkan terkait kualitas hadis. Keempat, membuka ranah baru dalam kajian hadis. Kajian-kajian hadis banyak mengalami kebekuan, terlebih pada awal tahun 2000-an, kajian sanad hadis sudah sampai pada titik jenuh, sementara kajian matan juga bergantung pada kajian sanad. Akhirnya, pada tahun 2007, muncul buku Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis yang dibesut oleh Sahiron Syamsuddin dkk, di prodi Tafsir Hadis, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (baca Jurnal Living Hadis : Genealogi, Teori, dan Aplikasi).

Secara sederhana, living hadis dapat dimknai sebagai gejala yang Nampak di masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis nabi Muhammada SAW. Dalam pengertian lain, living hadis merupakan suatu cabang dari ilmu hadis yang mengkaji terkait tradisi maupun fenomena sosial yang ada pada masyarakat dan mempunyai landasan pada hadis tertentu. Syaifuddin Zuhri berpendapat bahwa fokus kajian libing hadis adalah pada satu bentuk kajian atas fenomena praktik, tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di masyarakat yang memilik landasannya di hadis nabi.

Author: Alfian Al Ahsan
Pengurus HMI Korkom UIN Sunan Kalijaga Bidang Perencanaan dan Pelaksanaan Strategi Taktis Periode 2021-2022

Leave a Reply

Your email address will not be published.