Politik Make-Up Menuju 2024

Gambar: Marakom.id, de.dreamstime.com

Kurang lebih satu tahun lagi pendaftaran calon Presiden selanjutnya akan dibuka, September 2023. Sejak sekarang dipastikan kita semua akan dihadapkan dengan lebih masif lagi munculnya perdebatan-perdebatan politis mengenai siapa calon-calon berikutnya. Tentu saja kursi nomor 1 di Indonesia itu sangat menggiurkan, sehingga dipastikan akan sangat diperebutkan.

Indonesia menganut sistem demokrasi yang sederhananya diartikan dari rakyat untuk rakyat oleh rakyat. Implementasi dalam pemilihan Presidennya melalui pemungutan suara dengan sistem coblos manual-tidak tahu jika tahun 2024 melalui aplikasi.

Dalam sistem pemilihannya, semua rakyat yang memenuhi persyaratan untuk memilih sama suaranya yaitu hanya berlaku 1 suara per seorang, baik itu untuk yang miskin, awam, pengusaha, intelek, pejabat ataupun tokoh. Yang terpilih hanya berdasar pada jumlah suara banyak.

Mendasar pada hal itu, maka pemilihan yang dibangun berdasar pada demokrasi populis di mana calon terpopulerlah yang kemungkinan besar akan terpilih. Bagaimanapun jika melihat data, penduduk yang merupakan lulusan Sekolah Dasar (SD) sebanyak 64,84 juta jiwa (23,82%), 31 juta jiwa (11,39%) penduduk yang belum tamat SD, serta 63,49 juta jiwa (23,32%) yang tdak/belum sekolah.

Dengan mengacu pada hal tersebut setidaknya dapat dipahami bahwa tingkat pendidikan masyarakat sangat rendah. Oleh karenanya, untuk suksesi menjadi Presiden, salah satu cara yang efektif dengan menjadi calon yang populer, tidak perlu yang ahli, akademik, negarawan, programnya keren, terukur dan lainnya, cukup yang merakyat.

Karena skema sudah diketahui bahwa yang populerlah yang kemungkinan akan menang, maka jangan kaget jika banyak yang mulai touch-up pakai make-up. Apalagi dengan adanya media sosial yang menjadi wadah efektif untuk membangun citra.

Tinggal edit sana-sini, terjun sana-sini, menengok rakyat, membantu rakyat, upload dengan nada-nada backsound yang menggugah, terenyuhlah dan views jutaan, maka bargaining position kepada partai politik untuk dicalonkan akan semakin diperhitungkan.

Memang sangat disayangkan politik kita akan bertarung dengan politik, saya sebut Politik Make-Up. Saya berasumsi bahwa sebagian besar yang akan diadukan untuk menjadi calon karena kepopuleran. Ketika kepopuleran menjadi tolok ukur, dan yang dicalonkan tidak punya kemampuan untuk memimpin negara, saya takut ia hanya akan menjadi pesuruh para pemodal make-up-nya saja.

Jika kita melihat dari teori dramaturgi Goffman, di mana kehidupan adalah panggung sandiwara, yang ia bagi menjadi tiga panggung; panggung depan (front stage), panggung belakang (back stage) dan aktor tidak melakukan apa-apa (off stage), maka demikian juga proses kampanye nantinya.

Pemilihan berdasar pada kepopuleran ini akan mendorong para partai politik untuk mencari aktor yang populer. Jika aktor yang populer itu berkualitas tentu patut disyukuri, tetapi jika kemudian yang kebalikannya, maka akan menjadi masa depan yang suram.

Ia akan di-make-up sedemikian rupa oleh para pemodal di panggung belakang untuk tampil menawan di panggung depan untuk menggaet hati penontonnya. Ia ibarat boneka yang tidak punya daya tawar sehingga hanya akan menjadi pembantu belaka yang seharusnya menjadi Presiden.

Ini yang menjadi kekhawatiran dari demokrasi populis memukul rata semua suara sama. Meskipun begitu, kita harus tetap optimis bahwa nanti yang di-make-up adalah calon yang memiliki daya tawar, visi dan misi yang jelas sehingga tidak hanya menjadi alat kepentingan belaka.

Pada akhirnya, ajakan saya adalah bahwa jangan sampai kita tertipu oleh make-up-nya saja tanpa melihat isi kepala dan track record-nya yang berupa fakta dan data bukan opini-opini yang dibuat-buat sehingga nantinya bisa menahkodai perahu besar Indonesia ini dengan baik.

Author: Haikal Fadhil Anam
S2 HMI Penikmat Alam dan Secangkir Kopi

Leave a Reply

Your email address will not be published.