
Aksi Buruh dan Singgungan Untuk Puan yang dulu Menangis Saat BBM Naik (Gambar: Medan.Tribunnews.com)
“Manusia politik menemukan kematiannya didalam formasi wacana yang bukan produksinya sendiri, terhanyut dalam wajah perayu, penipu, dan citranya.”-Yasraf
Tepat pada hari sabtu, 3 September 2022 Jokowi resmi mengumumkan kenaikan harga BBM. Kenaikan tersebut jelas membuat gejolak, masyarakat merasa sangat keberatan dengan kenaikan harga tersebut, karena pada bulan April lalu BBM baru saja dinaikan. Isu kenaikan BBM muncul sangat kuat akhir bulan kemarin, sampai pada akhirnya muncul isu kenaikan pada tanggal 1 September yang menyebabkan masyarakat mengalami “panic buying” beramai-ramai menyerbu SPBU. Tetapi ternyata BBM tidak jadi naik, hal tersebut langsung diumumkan oleh pemerintah pada tanggal 2 September. Namun sehari berselang, pemerintah tiba-tiba mengumumkan kenaikan BBM secara resmi. Drama apalagi yang dibuat oleh pemerintah, tarik-ulur kebijakan berani bermain kucing-kucingan bersama rakyatnya sendiri.
Berangkat dari hasil analisa para ekonom Indonesia dalam mencermati kenaikan BBM kali ini, menarik untuk kita lihat bersama bagaimana kerja elit politik kita dalam membangun bangsa ini. Para ekonom banyak yang tidak sepakat dengan opsi kenaikan BBM ini. Bhima Yudistira misalnya, beliau mengatakan bahwasannya kebijakan ini merupakan kebijakan yang keliru. Kenaikan BBM selalu menjadi solusi alternatif yang selalu dipakai oleh pemerintah. Padahal sejatinya ketika permasalahannya terletak pada kebocoran subsidi yang tidak tepat sasaran, seharusnya yang dilakukan adalah mengontrol penggunaan BBM agar tidak bocor. Selain itu sebenarnya pemerintah masih memiliki ruang fiskal untuk menjaga harga BBM, salah satunya dengan memangkas hingga membubarkan kementrian atau lembaga yang menjadi beban negara (BBC, 2022).
Rezim ini memang sudah kehilangan nuraninya, mereka tidak pernah memikirkan bagaiamana dampak kenaikan BBM terhadap penderitaan rakyat. Mereka tidak sadar bahwa gaji dan kemewahan fasilitas yang mereka dapat merupakan hasil rampasan pajak rakyat. Melambungnya harga BBM tidak akan memberikan pengaruh besar bagi mereka. Namun bagaimana nasib ojol, supir angkot, dan ibu-ibu rumah tangga yang ikut merasakan konsekuensi dari kenaikan harga BBM yang membuat kebutuhan pokok ikut mengalami kenaikan. Inilah potret politik bangsa kita, proses politik yang pada hakikatnya sebagai sebuah ikhtiar menuju masyarakat adil dan makmur, nyatanya hanya menjadi mitos belaka.
Proses demokratisasi mengantarkan kita pada sebuah imajinasi untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan melalui wajah pemimpin ratu adil. Memang benar kata yasraf, untuk bisa melihat secara esensial kita harus lebih banyak membaca ketimbang melihat. Iklim politik bangsa ini telah berhasil membingkai politik dalam wujud citra semata. Melalui berbagai strategi penampakannya yang mempesona melalui jualan “kesetaraan, keadilan, dan kemanusiaan” (Si paling dekat dengan rakyat), bepretensi menampilkan kebenaran, padahal kenyataannya adalah penampakan halusinasi yang menyesatkan. Rakyat dirantai dalam bingkai tersebut, terbawa oleh indahnya janji-janji manis dan permainan-permainannya sehingga dirinya teralienasi dari dirinya sendiri sebagai manusia politik (Piliang, 2005).
Inilah yang terjadi pada bangsa kita hari ini, satu pertanyaan yang tidak pernah ada habisnya mengapa proses politik tidak pernah membawa kita pada jalan kemaslahatan, cenderung stuck atau bahkan mengalami turbulensi. Rakyat sebagai subjek politik terjerat dalam lubang citra yang membawanya pada kesadaran semu, terbuai pola permainan aktor politik yang isinya hanyalah pembodohan semata. Sangat ironi tentunya, apalagi melihat wakil rakyat yang tidak mau menemui rakyatnya. Diluar gedung rakyat demo meprotes kenaikan BBM yang membunuhnya, sedangkan wakilnya didalam asik merayakan ulang tahunnya. Lalu dimana nurani ketua DPR yang dulunya menangis tersedu-sedu, mengancam mengerahkan ribuan massanya, hingga menerbitkan buku putih sebagai bentuk protes atas kenaikan harga BBM? Semuanya tidak lebih dari sekedar citra semata. Nampaknya sekarang rakyat harus mulai kita sadarkan bahwa mereka tidak boleh mengharap pada sosok yang katanya pemimpin bangsa atau yang menjadi wakilnya di DPR. Mereka hanya peduli menjelang pemilihan semata, selepas itu mereka menghilang tanpa jejak. Asik menikmati berbagai fasilitas kemewahan dan bermain mata dengan para cukong. Matanya buta ketika melihat penderitaan rakyat, bahkan telinganya mendadak tuli ketika mendengar jerit tangisan rakyat. Suara-suara para ilmuan yang mencoba memberikan saran pun ikut luput dari pendengaran mereka. Kekuasaan yang dibangun bukan didasarkan pada suara rakyat adalah wujud dari pembusukan politik.