Mengulik Filsafat dan Kegunaannya (2): Kebutuhan Hari Ini dan Masa Depan

Gambar: www.sastrawacana.id

Filsafat telah melewati pahit getir panjang kehidupan, Jika kita mau menelisik lebih jauh kebangkitan peradaban besar masa lalu juga lantaran filsafat. Kejayaan peradaban Yunani kuno lantaran filsafat yang berani berpikir out of the box melampaui alam pikiran mitos hingga ke logos yang dipelopori oleh Thales, Anaximandros, Heraklitos, dkk.

Dari mitos hingga logos tadi menjadi pemantik pertarungan pemikiran (ghazwat al-fikr) yang pada puncaknya dipunggawai Socrates, hingga muridnya Plato, bahkan Aristoteles, dll turut memperkaya khazanah peradaban Yunani melalui sumbangsih pemikirannya, bahkan ada yang mengatakan khazanah Pemikiran Timur maupun Barat dewasa ini merupakan catatan kaki dari Plato dan Aristoteles. Wahh kurang keren apa coba?

Dari filsafat lah terlahir aneka macam cabang ilmu pengetahuan, hingga orang-orang menyebutnya sebagai mother of knowledge, ibarat kata sebuah pohon, filsafat menjadi akar dari batang dan ranting-ranting ilmu pengetahuan yang tumbuh rindang.

Mari sejenak flashback ke Abad Pertengahan, pembunuhan terhadap filsafat semarak terjadi, filsafat mengalami kemerosoton sehingga pada masa itu filsafat tidak lagi digalakkan sebagaimana  sebelumnya, akhirnya tidak banyak muncul filosof yang sangat gemilang, filsuf tersohor sebagaimana sebelumnya yang selevel Socrates, plato, Aristoteles. Hal ini karena terkurung kebebasan berpikir yang dilarang oleh gereja karena dianggap dapat merusak tatanan sosial, politik, hingga keagamaan seseorang.

Diakui atau tidak kegelapan yang terjadi menjadi salah satu faktor yang dialami Abad Tengah tidak lain dan tidak bukan karena permusuhannya dengan filsafat yang menjeruji kebebasan berpikir umatnya.

Jika seseorang mengatakan untuk menyapa masa depan gemilang nan maju harus disambut dengan pembangunan ini dan itu, penguatan dari sektor ekonomi, hukum, teknologi dan sebagainya itu saya sepakat. Tapi jangan sampai kesemuanya melupakan unsur utama pembangunnya. Saya akan berpegang teguh dan berteriak lantang bahwa filsafat lah jawaban yang pas sebagai proyek masa depan kelak untuk menopang semua proyek yang akan dilakukan. Loh kok bisa demikian?

Coba mari kita cek skill yang apa saja yang dibutuhkan di masa depan nanti, dilansir dari World Economic Forum (WEF) paling tidak ada 10 skill yang harus dikuasai;

  1. Berpikir analitis dan inovatif
  2. Mampu belajar secara aktif dan mandiri
  3. Complex problem solving
  4. Berpikir kritis dan analisis
  5. Kreatif, original, dan inisiatif
  6. Leadership dan bersosialisasi
  7. Mampu menggunakan teknologi terbaru serta mengontrol dan memonitornya
  8. Desain dan programing
  9. Ketahanan, toleransi stres dan fleksibilitas di dunia kerja
  10. Mampu memecahkan masalah, penalaran, dan membuat ide

Lebih dari setengah skil di atas menjadi corak dan gaya khas berpikir filsafat, seperti pemecahan masalah, dengan memuncul beragam pertanyaan tadi, berpikir analitis dengan berkontemplasi memikirkan kehidupan dan alam sekitar, atau berpikir kritis, kreatif, original itu kerap menjadi teman dekat filsafat. Tidak menerima kepakeman yang seolah baik-baik saja yang terus menimbulkan beragam pertanyaan yang membuat segala yang tampak pakem ternyata memiliki celah kekurangan.

Semua skill di atas berorientasi pada jangka panjang, dan tidak bersifat mekanis, berbeda dengan teknologi, meski zaman kita berada di bawah bayang-bayang teknologi, kanan kiri kita pun dipenuhi produk teknologi. Tiada lain karena teknologi itu sifatnya dinamis, dengan kata lain canggih hari ini, mungkin akan berasa jadul di tahun-tahun berikutnya karena telah ditemukan teknologi lebih canggih yang terus menerus bermunculan. Hingga akhirnya menuntut kita untuk terus mempelajari. Jika tidak, boleh jadi ilmu teknologi yang kita pelajari saat ini tidak menemukan relevansinya untuk beberapa tahun ke depan. Lihat saja Nokia yang dulu menjadi tren di pasaran digeser smartphone Android, kita belum mengetahui teknologi apa yang akan menggeser si Android ini nantinya?

Dan ternyata benar, apa yang pernah dikatakan Charles Darwin di masa lalu “spesies yang paling maju dan kuat adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan sekitar” Yuval Noah Harari juga meyakini bahwa manusia yang merupakan spesies dari Homo Sapiens ini adalah spesies yang paling bisa beradaptasi hingga akhirnya masih tersisa hingga sekarang.

Saya masih sangat yakin, filsafat sebagai warisan masa lalu yang melahirkan anak-pinak ilmu pengetahuan itu masih menemukan relevansinya. Karena sifatnya yang sangat universal dapat menyentuh sektor apa saja, ilmu apapun termasuk dalam seluk-beluk teknologi, perekonomian, hukum ataupun segala hal yang bersinggungan dengan tata kelola kehidupan manusia.

Jika saja kesemua sektor tadi kembali pada induk yang melahirkannya dan bergandeng tangan saling menguatkan untuk meraih apa yang menjadi tujuan bersama dalam rangka meraih cita agar generasi selanjutnya mempunyai semangat kritis dan filosofis sebagai instrumen dasar melengkapi apa yang dirasa kurang. Sebagai pisau analisis untuk mengupas beragam problem sosial kemanusiaan yang cenderung bermasalah.

Proyek seperti ini juga pernah dilakukan sosok pemikir pembaharu Mesir, Muhammad Abduh yang pernah menjabat sebagai rektor di Universitas Al-Azhar yang bercorak tradisional dengan proyek pembaharuannya berupaya memasukkan ilmu-ilmu modern yang sedang berkembang saat itu dan juga memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di sana yang sebelumnya di-anak-tirikan sebagai biang pemicu kekafiran. Karena bagi Abduh dengan berfilsafat dapat mengompori semangat intelektualisme Islam yang meredup dapat kembali menyala.

Akhirnya, dengan menumbuhkan kembali spirit berfilsafat di setiap lini kehidupan dalam upaya menghadapi segala persoalan kemanusiaan ini dibutuhkan pikiran kritis analitis dan mendalam atas setiap persoalan yang muncul. Dengan menghadirkan spirit filosofis dalam kehidupan kita agar lebih tangguh dan adaptif dengan segala macam keadaan karena mahluk seperti inilah yang kuat sebagaimana kata Darwin. Sungguh ironi jika di satu sisi kita membangga-banggakan sektor selainnya, akan tetapi sekaligus mengutuk dan mendiskreditkan unsur penting pembangunnya.

Wallahu ‘alam bi al-shawab

Author: Ali Yazid Hamdani
Ali Yazid Hamdani lahir di Probolinggo, Jawa Timur. Saat ini menjadi mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Ia aktif menulis esai, suka beropini, dan sesekali berpuisi. Dapat disapa melalui Instagram @ay_hamdani07

Leave a Reply

Your email address will not be published.