Mengulik Filsafat dan Kegunaannya (1): Filsafat Itu Ilmu Apa?

Gambar: www.dictio.id

Kemarin saya menghadiri sebuah acara syukuran wisuda seorang teman yang kebetulan teman kelas, sama-sama jurusan filsafat. Sebagaimana acara kebanyakan, ternyata ada rentetan acara sambutan sebelum menginjak acara inti (sebutan untuk acara makan-makan) yang dibawakan oleh kakek teman saya ini sebagai sesepuh dari keluarganya. Uniknya, terdapat sebuah pernyataan yang muncul dari beliau yang cukup menarik dan tentu saja sedikit mengusik. Kira-kira intinya begini; “ga tau cucu saya ini kok bisa ngambil jurusan filsafat, saya tidak tau ilmu apa ini, dan apa gunanya?” diungkapkan dengan nada santai dan diiringi tawa khasnya.

Lalu, pecah tawa seketika dari teman-teman yang hadir meramaikan, saya belum begitu memahami, tawa tersebut sebagai bentuk afirmasi atau bukan, saya juga turut tertawa ringan secara lahiriah agar tidak dianggap memiliki kelainan, hehe walau batin sedikit menyangkal sambil lalu mengingat-ingat kembali, ternyata fenomena semacam ini cukup banyak menimpa siapapun saat dihadapkan dengan “filsafat”. Dan memang tidak mudah, pasti akan muncul terus-terusan.

Diakui atau tidak, saat mendengar kata filsafat yang tergambar di pikiran kita adalah seperangkat pemikiran yang jelimet dan sukar dipahami, biang kekafiran yang berpotensi menjadi ateis, atau bahkan dengan sadis mengatakan hanya orang-orang yang berselera aneh yang ingin belajar filsafat. Kurang lebih seperti inilah image yang tercipta dan melekat pada filsafat.

Begitu lah momok filsafat yang terus menghantui pikiran kita yang mengganggapnya sebagai rangkaian pemikiran yang begitu jelimet, dan susunan kata yang sangat susah dicerna, bahkan yang lebih sadis dianggap sebagai biang pemicu kekafiran dan ateis, dengan dalih Tuhan yang berusaha dikuliti dan diungkap dari sana tampak penggambaran sinis terhadap filsafat.

Padahal jika kita mau jujur, filsafat laiknya bidang ilmu lain, yang terkadang menuai kesulitan dan terkadang juga mudah dipahami, andai saja filsafat juga dikenalkan sejak dini, minimal pernah dipelajari seperti ilmu lain mungkin juga ada yang mengatakan susah, dan beberapa yang lain mengatakan mudah. Namun sayang, yang menjadi problem adalah belum juga menyelidiki dan membaca teks-teks filsafat telah menyatakan kesulitannya. Atau langsung membaca pemikiran-pemikiran tokoh secara langsung misalnya bertemu dengan pernyataan filsuf soliter si Nietzsche “TUHAN TELAH MATI”, ya tentu saja secara spontan akan mengalami shock.

Coba saja ditata sebelumnya dengan pondasi yang kuat tatanan dasar-dasar filsafatnya, minimal baca teks-teks filsafat dan belajar pada yang ahli, mengikuti alur kecamuk pemikiran dari sejak awal hingga saat ini. Tentu tidak akan terjadi kekagetan yang menimpanya, Masa iya untuk menaiki anak tangga harus langsung menapak ke tangga yang paling tinggi, tentu akan susah bukan? Tidak hanya filsafat, hal ini pun berlaku untuk semua cabang ilmu pengetahuan.

Bahkan ada ungkapan yang menyatakan bahwa “Secara naluriah setiap dari kita adalah seorang filosof” Pernah tidak kita merenung dan berpikir akan hal tersebut, pasti beberapa orang akan menyangkal dan akan menyatakan”Jangankan menjadi filosof, mau berfilsafat pun tidak selera, ada-ada saja kamu ini.”

Dari ungkapan “Mengapa kita adalah filosof”, paling tidak ini didasari atas fenomena masa kecil manusia. Pernah kah kita sedikit mengingat masa kecil lalu? Meski tidak mengingat, paling tidak kita perhatikan sejenak anak kecil yang ada di sekitar kita. Betapa banyak keingintahuan yang muncul dari mereka hingga memicu memunculkan beragam pertanyaan yang diajukan. Dari yang sangat remeh hingga yang nyeleneh, bahkan yang tak terpikirkan oleh orang dewasa terus ditanyakan, tanpa henti dan habis stok pertanyaannya.

Intinya jika merasa kepo langsung ditanyakan pada orang terdekatnya. Sehingga tidak jarang orang tua atau lainnya merasa risih dengan berbagai pertanyaan yang muncul dari mereka yang tak kunjung jua habis, sikap jengkel yang muncul kadang menuai kemarahan yang memaksa anak-anak untuk tidak kembali bertanya, dengan beragam alasan tadi, entah takut dimarahi atau pun tidak ditanggapi. Alhasil, seni bertanya yang secara naluriah muncul terkubur sedikit demi sedikit lantaran ketidakmampuan orang tua atau orang dewasa yang ada di sekitarnya untuk melayani beragam pertanyaan yang diajukan tadi.

Tidak berlebihan bila C.A Van Peursen dengan tegas menyatakan bahwa kehadiran filsafat sebagai “seni untuk bertanya”. Dalam artian filsafat ada tidak untuk membentuk keahlian tertentu, melainkan memperluas cakrawala pandangan manusia mengenai berbagai polemik kehidupan.

Dari ragam pertanyaan demi pertanyaan filsafat yang menyentuh segala aspek, baik dalam hal ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, budaya, agama, dan berbagai polemik sosial lainnya pun turut diborong. Tokoh-tokoh dulu selain sebagai seorang yang ahli dalam bidang tertentu, menyandang gelar filosof sekaligus, sebut saja Adam Smith selain dikenal sebagai ahli ekonomi dengan teori invisible hand-nya atau disebut juga Bapak Ekonomi itu pun dikenal sebagai seorang filosof, Albert Einstin yang gandrung akan dunia sains pun demikian, dalam ranah hukum kita mengenal Ibnu Rusyd sebagai pakar hukum yang juga ahli berfilsafat, atau kita bisa memasukkan sosok dokter ternama di masanya seperti Ibn Sina dan Abu Bakar Ar-Razi pun menyandang gelar filosof, dan beberapa tokoh lain yang statusnya ilmuan sekaligus filosof.

Jikalau ilmu-ilmu itu hadir untuk memberikan dan merumuskan jawaban atas beragam pertanyaan-pertanyaan, justru filsafat malah sebaliknya, merumuskan pertanyaan-pertanyaan pada jawaban-jawaban yang ada. Mengapa begini, kok bisa begitu? Bukan memberi jawaban malah mengajukan pertanyaan. Sangat unik dan aneh bukan? Dari keunikannya ini memberikan kesadaran bahwa atas apa yang diberikan jawaban melalui satu ilmu ini dan ilmu itu yang terkadang dianggap pakem dan purna ternyata memiliki celah kesalahan. Dari pertanyaan ulang dalam rangka mengkritisi apa yang kurang, menghidupkan nuansa dialektika agar terhindar dari celah-celah tadi menuju yang lebih baik lagi hingga meminimalisir kesalahan.

Author: Ali Yazid Hamdani
Ali Yazid Hamdani lahir di Probolinggo, Jawa Timur. Saat ini menjadi mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga. Ia aktif menulis esai, suka beropini, dan sesekali berpuisi. Dapat disapa melalui Instagram @ay_hamdani07

Leave a Reply

Your email address will not be published.