Rasa-rasanya saya baru kemarin mengikuti prosesi RAK ke 49 HMI MPO Komisariat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga dan hari ini sudah berjalan saja prosesi RAK yang ke 51. Sebuah forum yang dalam beberapa kenangan kader-kader HMI selalu berbekas, bukan tanpa sebab, namun seluruh dinamika mulai dari kader yang mengantuk, isak tangis karena merasa gagal menjadi pengurus, hingga suasana bentak membentak selalu akan menjadi kenangan tersendiri bagi kader yang pernah mengikuti Rapat Anggota Komisariat.
Tidak terasa juga saya telah duduk selama dua jam di bangku warung kopi kopas di Daerah Sorowajan ini, berbekal satu laptop dna beberapa buah buku, tidak sengaja saya malah membaca kembali jurnal-jurnal tentang organisasi, maklum karena skripsi saya sangat membutuhkan referensi terkait itu. Setelah selesai membaca jurnal milik Guru Besar UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yaitu bapak Imam Suprayogo, pikiran saya malah mengantarkan saya untuk membuat tulisan ini.
Berbicara HMI secara luas, maka saya kembali mengingat bagaimana saya memiliki keinginan untuk bisa memberikan satu sumbangsih yang saya harapkan bisa menjadi langkah konkrit bagi kemajuan HMI, keinginan tersebut adalah bagaimana Hari ini saya rasa sangat urgent untuk memberikan pemahaman tersendiri bagi kader-kader HMI terkait masalah pengelolaan organisasi secara baik. Tentunya hal ini sangat mudah untuk direalisasikan walaupun tak kunjung terealisasi.
Maka dari itu, yang bisa saya upayakan untuk bisa menjadi pemantik terealisasinya wacana tersebut adalah dengan memberikan gagasan tersendiri dalam bentuk tulisan ini yang dimana harapan saya bisa menjadi peneman kawan-kawan yang sedang melaksanakan RAK ke 51.
Lintasan sejarah HMI MPO Komisariat Ushuluddin dan solidaritas Durkheim
Jika kita lihat kembali, secara kesejarahan HMI MPO Komisariat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga dapat dilihat dari dua fase, satu fase sebelum kemati surian yang bisa kita lihat sebelum turunnya orde baru atau reformasi. Pada fase ini secara dinamika memang kita tidak bisa berbicara banyak dikarenakan sulitnya mnegakses LPJ yang sebagai gambaran dinamika yang dimiliki pada zaman tersebut, namun yang bisa kita ingat adalah munculnya pada Tokoh-Tokoh hari ini yang lahir dari rahim Komisariat ini.
Beberapa nama yang saya sebutkan diatas sebut saja mas Murtadho (Profesor Riset KEMENAG RI), mas Ustadi Hamzah (Mantan Kaprodi Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga), mas Hilman Latief (Dirjend Haji dan Umroh KEMENAG RI), mas Agus Nugroho (Salah satu Manager Pupuk PONSKA), dan masih banyak nama yang lain yang tanpa mengurangi rasa hormat tidak bisa saya sebutkan satu persatu.
Namun keberhasilan HMI MPO Komisariat Ushuluddin dalam melaksanakan prosesi perkaderan sehingga melahirkan beberapa tokoh yang bisa saya sbeutkan diatas dan yang belum saya sebutkan nyatanya tidak menjadikan perjalanan HMI MPO Komisariat Ushuluddin bisa berjalan dnegan mulus, terbukti setidaknya mulai dari Tahun ‘2007-2013 komisariat ini mengalami masa yang disebut dalam teori organisasi dewasa atau menua yang ditandai dengan matinya (walaupun mati suri) komisariat ini.
Kondisi berbeda akhirnya muncul sejak sekitar ‘2014an, dimana mulai muncul beberapa nama seperti bang Ahmad Hasanudin (mas memet), bang Fadhel Muhammas Aslam, bang Kariri, Bang Fauzan, dan beberpaa nama lainnya. Komisariat ini mulai hidup kembali dengan SDM yang seadanya. Sehingga lambat laun perkembangan komisariat ini mulai nampak baik jika kita analisis secara kuantitas maupun kualitasnya.
Sehingga jika dinsinkronkan dengan kondisi hari ini, bisa kita tinjau secara lebih lanjut mengenai bagaimana seharusnya kedepannya HMI MPO Komisariat Ushuluddin bisa menciptakan satu bentuk solidaritas mekanik sebagaimana yang digagas oleh Durkheim. Solidaritas mekanik yang menjadi satu bentuk tatanan sosiologis menurut Durkheim sangat berbeda dengan solidaritas organik, dimana jika solidaritas mekanik akan sangat menitikberatkan kepedulian dari sekelompok masyarakat yang disebabkan karena adanya keterkaitan emosional atau sisi sentimen tertentu.
Selain itu menurut saya untuk bisa membuat kondisi HMI MPO Komisariat ushuluddin semakin membaik kedepannya adalah menancapkan sisi emosional yang membekas pada diri setiap kader yang ada HMI MPO Komisariat ushuluddin, yang titik muara terakhirnya adalah muncul suatu bentuk kepedulian yang tidak jauh berbeda dengan konsep bangsa oleh Soekarno (memiliki satu bentuk nasib yang sama).
Atau dalam bahasa Mas Shoffa (salah satu Alumni HMI MPO Komisariat Ushuluddin) seharusnya kehidupan ber-HMI bisa disebut sebagai jalan mistik dalam diskursus mistisisme. Hal tersebut cukup baik untuk hari ini mengingat bahwasanya kehidupan ber-HMI bisa menjadi salah satu jalan untuk bisa mendekatkan diri pada Tuhan, dan jika disinkronkan kepada apa yang disampaikan oleh Durkheim dan Mas Shoffa tadi, pada akhirnya setiap individu baik yang masih distruktur maupun yang sudah tidak distruktur akan mengurus HMI tanpa ada pamrihnya.
Terakhir, saya mewakili saya pribadi dan nama besar seorang sosiolog Emile Durkheim mengucapkan selamat menjalankan RAK ke 51 HMI MPO Komisariat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, semoga satu pesan diatas bisa ditelaah dengan lebih baik. Viva La Resistencia.