Hermeneutika Hasan Hanafi dan Implementasinya di Indonesia

Hasan Hanafi adalah tokoh yang sangat berpengaruh pada abad modern saat ini, terlebih pemikiran kiri Islamnya yang membawa Islam secara lebih masif untuk menyuarakan anti penindasan dan pembebasan di kalangan muslim dunia. terdapat Berbagai cara dari seorang tokoh ini untuk membebaskan kaum muslim dari jeratan kaum Barat yang semakin hari semakin menggerogoti umat Islam secara terstruktur dan lebih mendalam menyalahkan teologi dan ideologi kaum muslim itu sendiri.

Salah satu bentuk perlawanan agar bisa membuat kaum muslim bebas dari representasi yang tidak relevan di kajian keislaman nya adalah dengan memunculkan sebuah gebrakan baru yaitu tafsir hermeneutika. Tafsir hermeneutika adalah berasal dari Yunani yaitu hermeneuin yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk kepada seorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani yang dikenal dengan nama Hermes.Memang sekilas hermeneutika adalah ilmu yang di telinga terdengar seperti ilmu nya orang Barat, dan sama sekali bukan dari kaum muslimin sendiri.

 Salah satu bentuk perlawanan Hasan Hanafi Adalah sikap kritis nya terhadap tradisi Barat atau yang biasa disebut oksidentalisme. Oksidentalisme diciptakan untuk menghadapi westernisasi yang diantaranya dijalankan melalui orientalisme yang memiliki pengaruh luas tidak hanya pada budaya dan konsep kita tentang alam tetapi juga mengancam kemerdekaan peradaban kita serta seluruh gaya kehidupan keseharian kita.

 kontruksi pemikiran Hasan Hanafi mempunyai campuran yang dimana itu terdiri atas beberapa bagian seperti ushul fiqh, marxis, fenomenologi dan hermeneutika. Nah,dari sinilah Hasan Hanafi berangkat untuk mengkaji lebih dalam mengenai permasalahan yang ada di kalangan kaum muslim itu sendiri.

Hasan Hanafi membangun pemikiran hermeneutika seperti ini bertujuan untuk mewadahi wacana pembebasan Islam dan menjadi landasan normatif-ideologis dalam bentuk menghilangkan refresif, eksploitasi, dan ketidakadilan baik dari dalam maupun luar. Sebab,Hasan Hanafi melihat tafsir haruslah relevan dengan permasalahan-permasalahan yang ada di zaman sekarang.

Ciri khas tafsir hermeneutikanya Hasan Hanafi yang praksis terdiri atas tujuh bagian: yang pertama adalah komitmen politik sosial. Seorang mufassir  harus memiliki perasaan kepedulian atas kondisi kontemporer lebih lanjut seorang mufassir haruslah seorang revolusioner. Kedua, mencari sesuatu. disini seorang mufassir harus benar-benar  mempunyai kesadaran untuk mencari solusi atas berbagai persoalan yang terjadi,Azbab Al-Nuzul disini dipandang lebih kepada realitas sosial masyarakat saat Alquran diturunkan.

Ketiga,sinopsis ayat-ayat yang terkait pada satu tema. Disini Hasan Hanafi menjelaskan bahwa penafsiran tidak berangkat dari ayat namun kosa kata ayat. Keempat, klasifikasi bentuk-bentuk linguistik. Di dalam linguistik ini meliputi kata kerja dan kata benda, kata kerja waktu, kata kerja kepemilikan dan lain sebagainya.

Yang kelima adalah membangun struktur makna yang tepat sesuai dengan sasaran yang dituju yang berangkat dari makna menuju objek. Menurut Hasan Hanafi, keduanya satu kesatuan dan dijelaskan bahwa makna adalah objek subjektif sedangkan objek adalah subjek yang objektif. Selanjutnya yang keenam adalah analisis situasi faktual. Setelah menjelaskan dan membangun tema sebagai struktur yang ideal, seorang penafsir beralih pada realitas faktual Seperti kemiskinan, HAM, penindasan dan lain sebagainya. Terakhir adalah membandingkan yang ideal dengan rill. Disini penafsir diletakkan di antara teks dan realitas ketika ditemukan kesenjangan antara dunia ideal dan rill maka akan menghasilkan sebuah aksi sosial.

 Dari sini, kita bisa melihat bahwa kajian hermeneutika dari Hasan Hanafi berangkat dari kesenjangan dan ketidakrelevan tafsir di zaman kontemporer karena menurut Hanafi tafsir haruslah relevan terhadap permasalahan yang ada di zaman nya. Namun, bila tidak relevan maka bisa dikatakan tafsir tersebut sudah tidak bisa dipakai lagi untuk sebuah rujukan atas dasar hukum permasalahan yang ada.

Lantas,apa kabar dengan tafsir di Indonesia?. Di Indonesia terdapat banyak penafsiran salah satu nya dari kelompok JIL (jaringan lslam liberal) yang banyak berspekulasi mengenai pembahasan-pembahasan tafsir yang ada di zaman Modern.  Salah satu permasalahan yang diangkat oleh kelompok ini adalah pernikahan antara orang muslim dan non muslim yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 221,Allah SWT berfirman sebagai berikut :

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكٰتِ حَتّٰى يُؤْمِنَّ ۗ وَلَاَ مَةٌ مُّؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكَةٍ وَّلَوْ اَعْجَبَتْكُمْ ۚ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَتّٰى يُؤْمِنُوْا ۗ وَلَعَبْدٌ مُّؤْمِنٌ خَيْرٌ مِّنْ مُّشْرِكٍ وَّلَوْ اَعْجَبَكُمْ ۗ اُولٰٓئِكَ يَدْعُوْنَ اِلَى النَّا رِ ۖ وَا للّٰهُ يَدْعُوْۤا اِلَى الْجَـنَّةِ وَا لْمَغْفِرَةِ بِاِ ذْنِهٖ ۚ وَيُبَيِّنُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّا سِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُوْنَ

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.”

(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 221)

Jaringan Islam liberal sendiri mengambil dari Hasan Hanafi yaitu kritik historis dan kritis eiditis, dalam ayat di atas dengan jelas tidak boleh menikahi kaum musyrik oleh para umat Islam. Namun bagi jaringan Islam liberal sendiri, kaum musyrik bukan hanya orang yang mempersekutukan Allah saja tapi mereka meyakini bahwa orang- orang yang tidak mempercayai kitab-kitab Allah,baik yang mengalami penyimpangan atau yang masih asli dan juga yang tidak percaya kepada para nabi atau tidak mengimani nya maka itu juga disebut dengan kafir. Adapun pembagian bagaimana klasifikasi kekafiran yaitu:

  1. Kafir munafik yaitu kafir yang menyatakan dirinya beriman namun tingkah lakunya bertentangan dengan keimanan.
  2. Kafir syirik yaitu menjadikan sesuatu yang diluar Allah sebagai Tuhan nya atau sesembahan.
  3. Kafir nikmat yaitu tidak mensyukuri nikmat Allah dan menggunakan nya dijalan yang tidak di ridhainya.
  4. Kafir murtad yaitu keluar dari islam.
  5. Kafir ahli kitab yaitu non muslim yang percaya kepada nabi dan kitab suci yang diwahyukan tuhan melalui nabinya.

Lebih lanjut JIL (jaringan Islam liberal) menyatakan bahwa boleh menikah dengan kaum non-muslim dikarenakan mereka merujuk pada Al-Qur’an Al-Maidah ayat 5 Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

اَلْيَوْمَ اُحِلَّ لَـكُمُ الطَّيِّبٰتُ ۗ وَطَعَا مُ الَّذِيْنَ اُوْتُوْا الْكِتٰبَ حِلٌّ لَّـکُمْ ۖ وَطَعَا مُكُمْ حِلٌّ لَّهُمْ ۖ وَا لْمُحْصَنٰتُ مِنَ الْمُؤْمِنٰتِ وَا لْمُحْصَنٰتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْـكِتٰبَ مِنْ قَبْلِكُمْ اِذَاۤ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّ مُحْصِنِيْنَ غَيْرَ مُسَا فِحِيْنَ وَلَا مُتَّخِذِيْۤ اَخْدَا نٍ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِا لْاِ يْمَا نِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهٗ ۖ وَهُوَ فِى الْاٰ خِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ

“Pada hari ini, dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barang siapa kafir setelah beriman, maka sungguh sia-sia amal mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”

(QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 5)

Ayat ini adalah ayat madaniyyah yang diturunkan setelah ayat yang melarang menikah dengan kaum musyrik pada surat Al-Baqarah ayat 221. Ayat ini menjadi sangat revolusioner bagi kaum JIL karena menjawab secara eksplisit bagi kaum muslim saat itu,yang dibuktikan dengan menikah nya salah satu sahabat nabi yaitu Hudzayfah dan Thalhah yang menikah beda agama.

Jaringan islam liberal juga menyatakan bahwasannya laki-laki non-muslim dan wanita muslim menikah beda agama adalah ranah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu.  pada saat itu,dakwah Islam dan umat nya masih sedikit dan tidak sebanyak sekarang wajar bila pernikahan beda agama dilarang, Karena ranah pernikahan non-muslim laki laki dan muslim perempuan di ranah ijtihad maka besar kemungkinan  ada peluang untuk menimbulkan penafsiran baru.

Selain dari alasan diatas, Jaringan Islam Liberal juga menyatakan bahwa Islam bukanlah agama yang mengekang namun agama yang membebaskan.tahapan-tahapan dimulai dari larangan menikah dengan orang musyrik hingga diperbolehkan nya menikah dengan ahli kitab merupakan tahapan pembebasan evolutif. Hal ini sejalan dengan pemikiran hermeneutika Hasan Hanafi yang menginginkan bahwasan nya dari ranah teori ke aksi dan pemahaman ke perubahan.

Sumber:

Mubaidi Sulaiman, 2020, Pemikiran Hermeneutika Al-Qur’an Hasan Hanafi,dalam Studi Al-Qur’an di Indonesia Hal: 1-26.

Abdurrohman kusdi dan Umma Farida, 2013,aksidentalisme sebagai pilar pembaharuan(telaah terhadap pemikiran Hassan Hanafi) Hal: 244.

Author: Niko Sulpriyono
Staff Unit Kajian dan Literasi HMI MPO Komisariat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Periode 2020-2021. Kepala Unit Kajian dan Literasi HMI MPO Komisariat Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Periode 2021-2022

Leave a Reply

Your email address will not be published.