Semasa pandemi ini, barangkali Jacinda Ardern (Perdana Menteri Selandia Baru) adalah pemimpin dunia yang paling mahsyur dan banyak diperbincangkan. Bukan karena kegagapannya merespon pandemi, namun justru karena kepemimpinannya yang gemilang. Hal itu kemudian mengantarkan Selandia Baru pada peringkat pertama dalam hal kinerja negara menangani pandemi versi The Lowy Institute. Dalam hal ini, Indonesia justru berada di peringkat 85 dari 98 negara. Tak ayal, Alissa Wahid pun hingga membuat tulisan berjudul “Pemimpin Absurd” di Kolom Kompas pada 4 Juli 2021. Dalam tulisan itu ia mempertanyakan kualitas para pemimpin kita dari tingkat nasional hingga daerah, atau intinya adalah para pejabat negara.
Namun agak sedikit berbeda dengan Alissa Wahid, saya ingin memaknai pemimpin dalam arti yang lebih luas lagi. Bagi saya, persoalan absurditas kepemimpinan di masa pandemi ini bukan hanya terjadi dalam lingkup kenegaraan. Namun lebih dari itu, juga di lingkup-lingkup terkecil sekalipun. Semisal di organisasi kampung, mahasiswa, dan lain sejenisnya. Pandemi telah membuat krisis mendalam dan besar. Aspek mikro, mezzo, dan makro adalah satu kesatuan yang sehingga kita tidak bisa hanya menyoroti aspek makronya saja atau dalam hal ini adalah kenegaraan. Lantas, seperti apa kepemimpinan ideal di masa-masa seperti ini?
Tulisan ini akan mencoba menjawab hal itu dari sudut pandang VUCA. VUCA merupakan terminologi militer Amerika Serikat (AS) yang terkenal pada tahun 1990-an. Di Indonesia, detail tentang VUCA ini diulas oleh Yanuar Nugroho (Senior Adviser Centre for Innovation Policy and Governance) di Kanal Youtubenya pada Februari 2021. Singkatnya, VUCA merupakan siasat dalam merespon situasi krisis yang penuh ketidakpastian. Tentu dalam masa pandemi sepert ini, hal ini sangat relevan.
VUCA sebagai Pisau Analisis
Volatility (bergejolak), dalam situasi seperti ini pemimpin seringkali tidak siap. Hal itu dikarenakan situasi yang terus bergejolak, yaitu terjadi perubahan-perubahan yang sangat cepat dan dinamis. Sehingga yang sering terjadi adalah kegagapan-kegagapan dalam mengambil keputusan. Pemimpin dituntut untuk selalu siap dalam ketidaksiapan, dituntut lebih cepat daripada sebelumnya. Keberanian mengambil risiko menjadi sesuatu yang sangat mahal.
Uncertainty (tanpa kepastian), situasi ini membuat pemimpin sering melakukan tindakan yang berlebihan dan sia-sia. Ia bertindak berdasarkan pemahaman yang minim. Hal itu dikarenakan banyaknya noise information yang menyebabkan situasi menjadi sangat susah dimengerti. Dengan begitu tindakan seringkali hanya berdasarkan rasa aman saja dan tidak jernih. Dalam hal ini, gamangnya pemahaman akan situasi berdampak serius pada tidak jelasnya tindakan yang keluar, tindakan yang tak begitu membawa manfaat.
Complexity (kerumitan), kerancuan situasi membuat pemimpin begitu bingung dan penuh kekhawatiran. Tindakan-tindakan yang keluar terkesan begitu instant dan buru-buru. Mengkesampingkan jangka panjang dan hanya fokus pada respon-respon cepat saji. Mirisnya lagi, seringkali respon itu tidak dibuat dengan resep yang jitu. Kebingungan dan kekhawatiran telah membuatnya dangkal dalam melakukan analisis. Dampaknya, kambing hitam adalah dagangan yang paling utama baginya. Ia hanya memandang persoalan pada hitam dan putih.
Ambiguity (kemenduaan), situasi krisis membuat adanya percampuran makna, maka sering terjadilah kesalahpahaman dalam kepemimpinan. Realitas situasi sangat sulit dibaca secara jelas, begitu kabur. Dampaknya, tindakan-tindakan yang muncul seringkali menjauh dari konteks dan tidak efektif. Di samping itu, juga sering terjadi kelambanan dalam pengambilan keputusan sebagai akibat dari buruknya pemahaman dan komunikasi.
Hari-hari ini, situasi yang bergejolak, tanpa kepastian, rumit, dan mendua adalah sesuatu yang sangat dekat dengan kita. Namun, kita tetaplah manusia biasa, dan manusia tetaplah manusia, yang sangat sulit mengendalikan situasi itu, yang paling memungkinkan adalah mengendalikan pemimpin kita sendiri. Maka itu, buat mereka menjadi seperti Jacinda Ardern yang tindakan-tindakannya adalah sebuah kebijaksanaan sejati nan substansial, yang memberi maslahat bagi rakyat atau anggotanya. Untuk itu, berikut solusi dari Yanuar Nugroho yang juga bisa dicoba para pemimpin kita.
VUCA sebagai Solusi Praksis
Vision (visi), pada situasi krisis pemimpin harus memiliki visi, sehingga ia akan selalu berani dalam mengambil risiko. Ia memiliki pandangan ke depan yang jelas, terukur, dan mau memperjuangkannya secara total. Tentu dalam perjalannya ia juga tidak bisa sendiri, maka visi itu juga harus dikomunikasikan baik-baik dengan berbagai pihak. Selanjutnya ia tinggal berjalan bersama-sama sesuai koridor atas visi itu. Gempuran situasi yang dinamis tak akan bisa melemahkan dirinya.
Understanding (pemahaman), situasi krisis yang serba tidak pasti harus dihadapi dengan pemikiran yang out of the box. Mencoba berpikir nyeleneh dan melakukan pembaharu-pembaharuan. Situasi luar biasa juga harus dihadapi dengan pandangan yang tidak biasa-biasa saja. Pemimpin harus lebih fleksibel, tidak kaku atau konservatif. Berani lebih liar dan berpikiran ‘liberal’. Masa depan harus dibangun dengan cara yang benar-benar baru, harus berani melawan arus mainstream. Bukan mencontoh, tapi justru menjadi contoh bagi kebanyakan orang.
Clarity (kejelasan), dalam hal ini ada banyak hal yang harus diperjelas oleh seorang pemimpin. Hidup tak hanya hitam dan putih semata, namun ada banyak warna di dalamnya. Untuk itu, alih-alih mencari kambing hitam, pemimpin justru harus membangun kolaborasi dengan multisektor, ada banyak kemungkinan yang bisa dicoba. Dan karena serba mencoba itu, solusi yang dibangun tak harus dipaksa permanen, dalam situasi krisis solusi bisa temporer terlebih dahulu. Kemudian diimbangi dengan menyiapkan pemimpin-pemimpin di era selanjutnya.
Agility (keluwesan), di tengah banyaknya noise information, pemimpin harus lebih luwes, mendengar dan membaca lebih baik lagi. Memiliki kemampuan ritme yang baik, tau kapan bergerak cepat dan lamban. Sehingga lebih siap dan lincah dalam memimpin tahapan-tahapan yang telah dirumuskan. Jika understanding berbicara pada ranah pemikiran, maka agility ini adalah ranah tindakannya.
Pada akhirnya kita akan paham benar bahwa visi, pemahaman, kejelasan, dan keluwesan adalah modal paling penting bagi pemimpin di masa sekarang ini. Ia adalah bekal untuk melewati segala ketidakpastian yang sedang terjadi. Ia adalah obor di gelapnya kegagapan. “Dan kita (pemimpin) tidak dapat memegang obor untuk menerangi jalan orang lain tanpa menerangi jalan kita (pemimpin) sendiri”, begitu ungkap Ben Sweetland (Penulis asal AS). Maka tidak ada nasihat lain bagi pemimpin selain bisa memimpin dirinya sendiri sebelum memimpin orang lain.