PPKM mungkin itu istilah ke tiga dari metamorfosis kata lock-down dan PSBB. Pada intinya ke tiga kata yang menjadi program itu bermakna pembatasan dan pengetatan wilayah yang ditujukan untuk menurunkan tingkat keterpaparan covid-19.
Namun demikian, tujuan mulia tidak selalu berbanding lurus dengan pencapaian yang mulia juga jika tidak tepat dalam penggunaan metodenya. PPKM/PSBB/Lock-down atau apapun itu namanya justru menyisakan masalah-masalah.
Semenjak PPKM diberlakukan, pada hari perdananya, saya mengalami pengalaman yang tidak mengenakan. Ketika itu sedang duduk-duduk di sebuah warung kopi dan menikmati malam yang belum lama senja pergi.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara sirine, dan munculah sebuah mobil hitam menghampiri. Empat orang berjalan dan seketika langsung menyuruh orang-orang untuk bubar dan meminta pemilik warung kopi menutupnya.
Sebagian orang, mungkin karena takut, langsung bergegas pergi meninggalkan lokasi, dan sebagian lainnya masih melanjutkan makan dan minum. Sementara itu, petugas dan pemilik warung kopi berdebat tentang peraturan PPKM.
“Mas ini tahu aturan tidak, ini sudah seharusnya tutup”, pungkas petugas itu. Dengan sedikit gugup pemilik toko menjawab, “baik pak saya akan tutup ini warung kopi asalkan bapak biayai tagihan-tagihan dan kebutuhan keluarga saya”. Sontak saya terkaget.
Bagaimana tidak, jawaban pemilik toko tersebut sangat menghujam, bagaimana kemudian kebijakan PPKM ini tidak solutif dan justru sebaliknya. Mungkin angka keterpaparan covid-19 turun tetapi angka pengangguran, kerugian, kelaparan dan ketegangan sosial naik.
Melansir dari medcom.id, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan dengan pengetatan mobilitas tersebut, pengangguran akan meningkat sampai dengan 1,8 juta. Jumlah ini sangatlah besar, bukan sekedar angka tetapi juga nyawa.
Selain itu misalnya menurut Sekjen APPBI Jawa Barat Satriawan Natsir, banyak mall-mall yang mengalami kerugian sekitar 1,2 miliar. Tentunya ini bukan hanya sekedar angka, tetapi di balik angka tersebut ada manusia-manusia yang berjuang untuk keluarganya yang dipertaruhkan.
Lebih jauh, misalnya di kalangan bawah, banyak tersebar video-video yang memperlihatkan ketegangan-ketegangan sosial antara apparat dan masyarakat yang sedang survive untuk kehidupannya dengan cara berdagang tetapi dipaksa untuk tutup karena aturan PPKM ini.
Satu aturan yang paling menggelitik otak penulis adalah tentang adanya pembatasan waktu malam. Berusaha untuk berpikir menemukan jawaban perbedaan antara siang dan malam, tetapi lagi-lagi saya tidak menemukan juga jawabannya. Apakah covid-19 hanya beredar di malam hari?
Padahal jika dipikirkan yang terpenting adalah adanya pembatasan kuota, jika itu warung kopi atau warung makan, baik itu di siang hari atau pun malam hari. Jadi, pengetatatn protokol kesehatan serta mekanismenya yang perlu diperhatikan, bukan menghantam langsung harus tutup.
Saya sangat tidak ingin kemudian masyarakat sampai muak dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang niat awalnya baik tapi justru buruk pada realitasnya tetapi tidak dievaluasi. Terutama yang paling penting adalah solutif, menyelesaikan masalah secara menyeluruh.
Saya tahu ini bukanlah perkara yang mudah untuk diselesaikan, tidak hanya di Indonesia tetapi bahkan dunia. Namun, paling tidak berikanlah aturan yang logis dan solutif, bukan menutup satu lubang, muncul banyak lubang lainnya.
Sebagai seseorang yang peduli dan juga ingin segera melihat adanya secercah harapan selesainya masalah covid-19 ini, saya hanya bisa berpendapat bahwa yang terpenting adalah bukan di pembatasannya, tetapi diperketat protokol kesehatan dan mekanismenya.
Terakhir, untuk para konglomerat, dermawan, hartawan, yang memiliki kelebihan harta, juga bisa membantu khususnya berupa moril kepada mereka yang membutuhkan. Pun demikian, juga kita sama-sama merapatkan barisan, menggalang dana untuk siapapun yang terdekat dahulu. Semoga.