Teriakan Dari Bawah Jembatan

“Pengemis, pemulung, dan pengamen dilarang masuk!!!”

Demikian yang tertulis di pagar-pagar perumahan masyarakat kota, seakan menjadi tameng untuk melindungi diri dari kotoran dan debu yang lewat, terbuat dari besi dan batu bata yang keras, sekeras hati mereka.

Siang ini sangat terik, tak ada harapan awan menutupi matahari walau sebentar, karena langit sangat biru dan bersih. Pak Abdul tengah beristirahat di salah satu pohon rindang di luar pagar rumah mewah yang terletak tak jauh dari persimpangan, menikmati hembusan angin melewati sela-sela rambut, leher, dan ketiak yang basah oleh keringat hingga menciptakan suasana sejuk yang teramat sangat.

Sesekali ia melihat lampu apil yang tengah mengatur lalu lintas, pak Abdul berdehem membersihkan tenggorokannya, suaranya pelan dan berserak “lihat nak, kenapa ketika lampu merah motor-motor berhenti?” tanya pak Abdul kepada Dafa yang dari tadi duduk di sebelah pak Abdul. “Karena begitu aturannya pak” jawab Dafa dengan nada bingung terhadap pertanyaan pak Abdul. “Iya benar nak, tapi ada pelajaran yang bisa kita ambil dari lampu merah itu atau bahkan dari setiap hal yang kita temui.

“Kalau kita perhatikan lampu merah memberikan pelajaran kepada kita bahwa dalam kehidupan ini, kita sesekali harus berhenti dan biarkan orang lain untuk lewat, dengan begitu kita bisa beristirahat dan mempersiapkan diri untuk kembali melangkah”.

Lampu apil yang diperhatikan kini berganti menjadi warna kuning dan dengan cepat berganti lagi menjadi warna hijau. Motor dan mobil mulai kembali berjalan dan menciptakan suasana bising. Setelah itu berlalu pak Abdul bertanya lagi, kini dengan suara lebih tinggi dari sebelumnya namun dengan nada yang tenang “Apa yang kamu pelajari dari lampu kuning dan hijau tadi nak?”

Dafa membalikkan badannya menghadap ke pak Abdul, dengan raut wajah yang kebingungan ia bertanya dalam dirinya “Apa yang sebenarnya ingin disampaikan pak Abdul?”. “Gak tau saya pak” jawab dafa dengan suara pelan “emangnya apa pak pelajarannya?” tanya Dafa dengan nada penasaran. Angin berhembus sepoi-sepoi, suasana kembali terasa sunyi, kendaraan yang lewat menurunkan gasnya dan berhenti karena lampu apil kini kembali menunjukkan warna merah, Dafa yang sedang menunggu pak Abdul membuka mulutnya untuk memberikan jawaban merasa waktu berjalan sangat lambat.

“Nak, (pak Abdul membuka suaranya kini dengan nada yang datar) setelah berhenti dan beristirahat ketika lampu merah, lampu kuning mengajarkan kita untuk bersiap-siap terhadap segala hal, semuanya harus kita persiapkan untuk menghadapi baik dan buruknya kehidupan dan lampu hijau mempersilahkan kita untuk kembali melangkah, menjalankan apa yang telah kita renungkan saat kita beristirahat ketika lampu merah dan apa yang telah kita persiapkan ketika lampu kuning.

Semuanya memiliki porsi masing-masing, aturan menciptakan keteraturan, bayangkan jika tidak ada lampu apil, semuanya akan kacau dan tidak ada yang mau mengalah untuk berhenti. Begitupun dengan kehidupan, ketika kita mengikuti aturan-aturan kehidupan, maka kehidupan kita menjadi aman dan damai, karena cenderung memiliki sikap sabar dan syukur. Suasana kembali hening, Dafa dari tadi mukanya dipenuhi rasa penasaran kini tengah mereda, menandakan ia mulai memahami apa yang ingin disampaikan pak Abdul tentang lampu apil dan pelajaran kehidupan.

Gedung-gedung tinggi menjulang mencoba menggapai langit, semakin tinggi bangunan yang mereka buat, semakin tinggi pula ego mereka, pagar-pagar yang mereka buat dari baja yang keras, mengelilingi rumah mereka, semakin keras pula hati mereka.

Piiip!!! Piiip!!! Suara klakson mobil terdengar dari balik pagar rumah itu, menyadarkan si penjaga rumah yang sedang berleyeh-leyeh ketika ngantuk dan panas menyerang di markas jaganya berukuran 3X4 meter. Dengan cepat ia keluar dan menyambar gagang pintu pagar dan membukanya perlahan, “Cepatlah bodoh, harusnya kamu tahu kalau sekarang jam saya berangkat kerja” teriak sang raja dari balik kaca mobil yang setengah terbuka. “iya, maaf tuan”. Dalam hatinya ia berontak “matahari sudah di atas kepala gini baru mau berangkat kerja? Hadeuhh, bisa-bisanya orang seperti ini menduduki jabatan di pemerintahan, pantas saja negara ini gak menampakkan kemajuan”.

Kebisingan dari balik pagar itu mengalahkan kebisingan yang dari tadi didengar pak Abdul dan Dafa sehingga menarik perhatian mereka untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sebuah mobil Mercedes Benz hitam keluar perlahan dengan mulut yang tak henti membuat kebisingan.

Dua pasang mata yang menduduki pohon di depan rumah itu masih seksama memperhatikan ke arah pagar yang terbuka itu. Belum selesai memarahi si penjaga rumah, matanya dikagetkan oleh kotoran dan debu yang hinggap di halaman luar rumahnya, seketika ia geram, mukanya memerah, matanya membelalak, mulutnya dibuka selebar-lebarnya dan bersiap mengeluarkan kata-kata mutiara untuk mengusir dan memberbersihkan halaman rumahnya.

Mata mereka bertatapan, “apa yang kalian lakukan di sini, pergi kalian, mengotori rumahku saja, apa jangan-jangan kalian ingin mencuri ya? Ha?”, umpatan demi umpatan mengalir lancar dari mulutnya, seakan sudah terbiasa dan hafal setiap bait dan susunan umpatan yang ia keluarkan. Sontak membuat pak Abdul dan Dafa kaget bukan kepalang, mereka bertatapan, matanya membesar, dahinya terangkat hingga membentuk garis-garis horizontal, mereka bertanya dalam benak mereka, pertanyaan yang sama, juga sama-sama tak mampu diungkapkan “apa yang sudah kami lakukan?”.

Ketika mulut sang raja pengumpat itu berhenti, pak Abdul membuka suaranya pelan dan berserak “Kami hanya numpang beristirahat di sini pak, mohon maaf jika mengganggu kenyamanan bapak”. Setelah mengatakan itu mereka berdua pun berlalu, Dafa kembali ngamen di perempatan lampu apil itu dan pak abdul kembali mencari tong sampah sambil berharap masih ada rosok yang tersisa untuk dijualnya.

Jalan-jalan utama masih terlihat ramai, lampu apil masih setia mengatur lalu lintas, di permulaan waktu berganti hari.  Pak Abdul berjalan pulang menuju jembatan yang di bawahnya terdapat singgasana tempatnya beristirahat, di bawah jembatan itu terdapat dua sisi pelataran yang bisa digunakan untuk tidur.

Di sana ia melihat Dafa yang sudah dahulu tertidur, tidur di tengah suasana yang sunyi nan gelap, ia terlelap bagaikan seorang anak yang tidur di kasur empuk dan dibacakan dongeng oleh ayahnya. Nyamuk-nyamuk dan lalat-lalat berterbangan, air sungai yang mengalir deras, seakan menggantikan kedua orang tua, yang menyanyikan lagu tidur untuknya. Ia berangkat mencari penghidupan sebelum anak-anak seusianya terbangun dan pulang setelah anak-anak lain tertidur, kehidupan yang keras dilewatinya setiap hari dengan ikhlas dan tabah, pak Abdul sangat mengenalnya, ia tak pernah mengeluh tentang kehidupannya, semua itu ia jalani dengan selalu tersenyum.

Pak Abdul berjalan ke sisi lain pelataran di bawah jembatan, tempat singgasananya berada, terlihat sebuah pamflet putih yang terlentang, warnanya menjadi hitam karena bercampur dengan tanah. Sebelum merebahkan badan ia bersandar pada tembok sisi jembatan, merogoh sakunya dan mendapati sisa puntung rokok yang menurutnya masih bisa dibakar.

Dalam benaknya ia berontak dan mempertanyakan kondisi negara ini, di negara yang besar ini, orang-orang yang di atas sana mana mungkin mau melihat ke bawah, di negara yang katanya “makmur” ini tapi tak juga memakmurkan rakyatnya, di mana janji-janji para penguasa yang begitu manis, semanis gula jawa yang diucapkan ketika pemilu, mereka bersorak-sorak di atas sana, menjanjikan kesejahteraan rakyatnya, di manakah letak kesejahteraan itu?

“Ah sudahlah mungkin itu semua hanya omong kosong belaka yang diucapkan untuk mendapatkan sebuah jabatan dan kekuasaan”.

Author: Han Alfara
Mahasiswa Filsafat dengan "prinsip Teruslah merasa bingung dan jangan pernah mengerti"

Leave a Reply

Your email address will not be published.