Aku Ingin Protes Dengan Sederhana

Nasib muram adalah bayang — bayang yang selalu menghantui kehidupan muda mudi yang mempunyai kecintaan lebih dalam dunia menulis, dan dalam hal ini mereka yang memimpikan diri menjadi seorang penulis (sastra) di negeri ini. 

            Sampai saat ini, muda-mudi itu harus tetap berbesar hati, memperkokoh pondasi mimpinya, sambil terus memperluas alam wawasan imajinasinya, bahwa mereka harus menerima kenyataan hidup di tengah tengah masayarakat yang lebih punya budaya panjang dalam hal mendengar kisah-kisah, dongeng , mantra , dan cerita daripada membudayakan kebaruan yakni membacanya sendiri.

            Namun, ada juga mereka muda-mudi yang berhasil menundukkan rasa permusuhan, ketidakacuhan, dan penghinaan-penghinaan lain terhadap segala bentuk proses kepenulisannya. Memang tidak semua orang bisa dibunuh oleh kelaparan, ketidakacuhan, atau ejekan-ejekan. Meminjam perkataan Mario Vargas Llosa “penulis adalah orang yang berangkat berperang dengan tahu sejak awal, bahwa dia akan kalah.”

            Lantas mengapa aku mempunyai keinginan menjadikan Berkesenian dalam menulis dan sastra sebagai panggilan hidup, menekuni sebuah profesi yang hampir tidak terlihat nyata, yang bersikeras, dengan melawan segala logika?

            Tidak lain karena; aku tidak sepakat dengan segala kenyataan hidup yang ada. Panggilan untuk mengada, mencipta, menulis, dan sastra itu lahir dari segala ketidaksepakatanku dengan dunia, intuisi yang terus menjerit akan kekurangan, perbedaan, dan penderitaan disekitarku. Lewat itu semua harapanku muncul, aku ingin memperingatkan semua orang, semua masyarakat, tentang pentingnya kemanusiaan, bahaya stagnasi spiritual, rasa puas diri, kejumudan, kemandekkan gagasan berpikir, kelumpuhan logika, dan kemerosotan intelektual dan moral.

            Di mana sekarang ini kita bisa melihatnya sendiri secara langsung, pertama Ketidakadilan dijadikan landasan untuk membuat aturan dan hukum, menjadikan dunia sebagai surga bagi berbagai macam kebodohan, eksploitasi secara besar-besaran diberbagai lini kehidupan, ketimpangan yang mencolok mata, kemlaratan, alienasi ekonomi, budaya, dan moral, itu semua adalah bencana besar yang dibuat secara sistematis dan mampu membinasakan seluruh peradaban umat manusia yang mendaku dirinya sebagai beradab itu.

            Di lingkungan sekitar kita telah membentang berbagai macam bahan untuk kita kuak dalam sebuah karya, secara langsung maupun tidak langsung, lewat fakta maupun impian, lewat pengakuan atau kiasan, lewat mimpi buruk atau penampakan bahwa realitas kita ini penuh dengan ketidakberesan buatan ini.

            Bahwa hidup yang seperti itu bisa digodam, diubah dan harus berubah. Bahwa kita bisa percaya masa — masa keadilan akan segera tiba, negeri-negeri kita akan terbebas dari segala tatanan yang menjarahnya, dari kasta-kasta yang mengeksploitasinya, dari kekuatan-kekuatan yang sekarang menghina dan menindasnya.

            Namun, tatkala semua kekacauan-kekacauan itu sirna, bukan berarti aku akan berhenti, mandek, berkata setuju, subordinasi, dan memilih keterlibatan secara resmi. Tidak.

            Aku tidak akan berhenti. Misiku akan tetap berlanjut, dengan tetap sama; Aku tidak bisa menerima jaket pengekang, upaya apapun untuk membelokkan watakku yang pemberang, pemberontak, dan ditakdirkan untuk gagal, itu adalah sebuah pengkhianatan. Itu semua harus tetap ada pada diriku. Sastra kapan saja bisa mati, tetapi aku tak mau berkompromi.

            Aku akan terus seperti dulu, seperti sekarang, Berkata tidak, memberontak, menuntut pengakuan atas hakku untuk berbeda pendapat.

Bantul, 2021.

Author: Farid Merah
Anggota Teater Eska dan pecinta sastra Amerika Latin

Leave a Reply

Your email address will not be published.