Wacana Pembaharuan Budaya Khutbah

Gema takbir yang menggema dari setiap corong speaker Masjid-Masjid mengiringi pagi Masyarakat Indonesia yang notabene adalah umat islam. Menjadi tanda bahwasanya hari ini akan diselenggarakan suatu ritual yang suci dari umat tersebut. Di tengah ada anjuran untuk tetap menjaga jarak di tengah mewabahnya Covid-19, umat islam tetap menjalankan shalat idul fitri dengan khidmat.

Seperti selayaknya shalat idul fitri sebelumnya, shalat idul fitri kali ini dijalankan dengan tetap ada takbir yang menjadi tanda shalat idul fitri itu sendiri dan dilanjutkan dengan shalat dua rakaat tersebut dan ditutup dengan khutbah oleh Khatib yang biasanya adalah Imam shalat idul fitri tersebut. Sebagai informasi biasanya khotbah shalat idul fitri tidak berbeda dengan khutbah khutbah yang lain. Yang berisi tentang untuk tetap menjaga ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan dilanjutkan dengan beberapa pesan yang ingin disampaikan oleh sang Khatib.

Dari sekian prosesi shalat idul fitri tersebut tidak banyak menjadi perhatian saya karena berjalan seperti bagaimana mestinya, namun dalam salah satu prosesinya yaitu khutbah, saya menemukan adanya suatu miss-purpose. Dimana jika kita tilik dari tujuannya, adanya khutbah ini ingin menyampaikan kepada jamaah tentang beberapa pesan atau bahkan sering dibahasakan oleh Khatib sebagai suatu wasiat. Namun yang menjadi masalah adalah sering kali Khatib yang ditunjuk masih saja menggunakan bahasa jawa krama inggil.

Menjadi sangat penting bagi kita untuk melihat segala sesuatu secara konteks, dan hal ini yang acapkali menjadi permasalahan di Masyarakat Indonesia. Dan jika kita tarik konteksnya maka dalam hal khutbah ini, bagi para Khatib alangkah baiknya melihat kepada siapa mereka menyampaikan khutbah tersebut. Jikalau dirasa banyak dari jamaahnya adalah kalangan milenial yang sudah banyak tidak terlalu paham dengan bahasa jawa karma inggil maka untuk apa menyampaikan khutbah dengan bahasa tersebut ?.

Kasus ini terjadi di Masjid yang menjadi lokasi saya melaksanakan shalat idul fitri, dimana pada akhirnya saya tidak bisa mengerti apa yang ingin disampaikan oleh sang Khatib karena menggunakan bahasa jawa krama inggil. Dan pada akhirnya ketika khutbah berlangsung saya hanya bisa termenung berharap bisa mengerti apa yang disampaikan.

Memang secara historis adanya khutbah dengan bahasa jawa krama inggil ada sejak jaman penyebaran agama islam di pulau jawa. Namun selayaknya ajaran agama-agama yang lain, perlu adanya suatu pembaharuan di sistematika dari khutbah ini, hal ini diperkuat dengan kondisi Masyarakat jawa hari ini yang sudah mulai luntur pemahaman atau hafalannya tentang bahasa jawa karma inggil tersebut. Namun di samping itu tetap ada yang bisa atau menguasai bahasa tersebut. Tetapi mereka yang mengetahui atau fasih terhadap bahasa krama inggil dapat dipastikan juga mengerti jika sang khatib menyampaikan khutbah menggunakan bahasa Indonesia.

Sudah bukan barang asing jika kita memahami bahwa disamping sebagai tempat beribadah, Masjid juga sering kali digunakan sebagai tempat untuk belajar berbagai ilmu-ilmu tertentu. Namun masih jauh jika kita ingin membicarakan Masjid menjadi tempat pembelajaran bahasa jawa krama inggil, dan lebih tepatnya hari ini Masjid-Masjid di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa khutbah. Karena ini sangat efektif untuk kembali pada tujuan dari khutbah tersebut.

Belum selesai kita pada tatanan masalah bahasa yang digunakan oleh para Khotib, sering kali juga kita dapati dalam beberapa khutbah yang merupakan prosesi sakral dalam umat islam untuk terjadi transformasi pengetahuan agama, acapkali hanya diisi oleh para Khotib yang menyampaikan nilai-bilai agama yang sangat normatif, dan tidak jauh berbeda dengan apa yang ada di kelas-kelas anak Madrasah Ibtidaiyah.

Apa yang menjadi pesandalam khutbah-khutbah di Masjid sering kali hanya sebatas penyampaian untuk meningkatkan ketaqwaan pada Allah s.w.t, tidak meninggalkan perintah Allah, meninggalkan larangannya karena Allah bisa murka dengan seluruh dosa yang kita lakukan, jarang sekali bagaimana khutbah-khutbah diisini dnegan materi-materi yang mendorong adanya transformasi sosial yang dimana materi tersebut sangat dibutuhkan ditengah kondisi sosial-politik negeri ini yang sedang tidak baik-baik saja. Sehingga dari langkah tersebut agama bisa menjadi satu media adanya transformasi sosial melalui mimbar-mimbar Masjid.

Tentu saja adanya wacana ini perlu dibarengi dengan bantuan dari beberapa pihak seperti adanya himbauan MUI atau bimbingan dari Kemenag sebagai kementerian terkait. Dan juga tidak tertinggal adanya kesadaran dari para Takmir Masjid dan para Khatib sendiri untuk bisa merealisasikan wacana ini. Karena walaupun sering kita anggap sepele, namun khutbah juga memiliki peranan tersendiri untuk menjadi alat penyadaran perubahan tatanana sosial di tengah masyarakat yang sangat religius.

Author: Akbar Buntoro
Ketua HMI MPO Korkom UIN Sunan Kalijaga Periode 2020-2021

Leave a Reply

Your email address will not be published.