Paradoksial Kritik HMI vs Dialektika Pandemi Hari Ini

5..4..3..2..1.. Close The Door Podcast milik Deddy Corbuzier pada episode bersama dengan mantan Menteri Kesehatan, Siti Fadilah membincangkan masalah virus Flu Burung yang menjadi wabah di tanah air pada tahun 2005. Jika pada pandemi Covid-19 hari ini kita sangat familiar dengan akronim PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang kemudian bertransformasi menjadi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), maka pada saat wabah Flu Burung tahun 2005 dikenal dengan sebutan Pengendalian Perimeter, yakni tindakan pengawasan yang dilakukan di wilayah penanggulangan sehingga penyebaran pandemi dapat terbatasi.

HMI hari ini memasuki usianya yang ke-74 tahun dengan segala tantangan disetiap periodesasinya. Hal ini berarti HMI telah melewati 5 kali waktu terjadinya wabah berskala nasional, yakni: SARS pada tahun 2003, Flu Burung pada tahun 2005, H1N1 pada tahun 2009, Ebola pada tahun 2014 dan Corona pada tahun 2019. Selaras dengan prakata diatas, persentase kesamaan penanggulangan wabah, yakni “pengawasan sosial” antara Covid-19 dan Flu Burung tahun 2005 sangat menarik untuk dicermati bagaimana faktual lapangan HMI hari ini dengan harapan kader menjadi a good organisatorist no matter what happens.

Pengawasan sosial pada saat pandemi menjadi tanda tanya besar terkait recovery system kepengurusan dan eksistensi HMI di periodesasi ketika terjadi pandemi.  Dinamika umum yang sering dijumpai perihal berorganisasi ditengah pandemi hari ini lebih kurang berkutat pada sulitnya berkordinasi karena jarak, hilangnya kesadaran berorganisasi, penurunan ghirrah, banyaknya aktivitas online dan lain sebagainya. Pergeseran kehidupan manusia menjadi serba digital hari ini tampaknya memang menimbulkan kejenuhan, namun jika kita mawas diri seharusnya kemajuan peradaban hari ini sangat patut kita syukuri dalam konsep ketauhidan sebagai seorang muslim.

Mahasiswa secara leksikal mengemban kata “maha” yang mengandung dogma kebesaran (kaum pelajar dalam tingkatan tertinggi) didalamnya, namun HMI sebagai organisasi kemahasiswaan hari ini tampaknya masih kurang masif dalam perannya sebagai agent of change, social control, guardian of value, iron stock, moral force dan critical politics karena masih disibukkan oleh dinamika internal yang sebenarnya tidak perlu berlama-lama dipusingkan. Bagaimana kita ingin branding organisasi jika internalnya saja masih belum dapat diperbaiki.

Jika kita sadar dan berkontemplasi sebentar saja, sebenarnya hibrida dari 3 pilar yakni: Pedoman Perkaderan, Etos Perjuangan dan perkembangan digital adalah jawaban dari permasalahan HMI hari ini. Pedoman Perkaderan sebagai landasan teoritikal kompleks, Etos Perjuangan sebagai ujung tombak praktikal dalam menjalankan organisasi, dan perkembangan digital adalah alat dan glory thing yang kita miliki hari ini. Frasa-frasa tersebut sering kita temui dalam substansi organisasi, dan sekarang adalah waktunya untuk mengimplementasikan agar pilar tersebut tidak hanya sekedar termaktub dalam Konstitusi. Namun kembali lagi, apakah kita sadar dan siap untuk merekonstruksi sistem secara kolektif?

Dapatkah kita bayangkan bagaimana rasanya menjalankan roda kepengurusan beserta eksistensi HMI ketika zaman belum berkembang seperti sekarang? Tampaknya demisioner struktural yang terdahulu lebih layak untuk mengeluh dibandingkan kita saat ini dengan segala kelebihan dan kemajuan hari ini. Maka apalagi yang tidak patut kita syukuri? Apalagi yang mau kita keluhkan? Kita hanya berkutat pada krisis ketidaksiapan mental!

Era industry 4.0 dan society 5.0 saat ini menjadikan sumber daya manusia lebih kompetitif dalam pemenuhan kebutuhan perkembangan zaman. Jika HMI masih selalu membenturkan dinamika internalnya, maka sangat patut dipertanyakan “Apakah kader-kader HMI tergolong SDM siap pakai dalam retorika dan dialektika nasional hari ini baik secara intelektual maupun kualifikasi skill?” Jawabannya dikembalikan pada individual masing-masing kader HMI.

Jika tulisan pembangunan wacana dan peningkatan ghirrah seperti ini masih saja kita hadapkan pada ketidaksiapan mental yang berujung pada semakin ciutnya berorganisasi, maka saya pribadi menyarankan agar kita gulung tikar bersama, atau paling tidak hapuskan saja Pasal 8 Anggaran Dasar dalam Konstitusi HMI.

Author: Ummi Rosyidah Siregar
Ketua Bidang Pembangunan Wacana dan Studi Perdaban (PWSP) HMI Korkom UIN Sunan Kalijaga

Leave a Reply

Your email address will not be published.