Mudik: Politik dan Kemanusiaan Dalam Perspektif Kedaulatan

Hari raya idul fitri menjadi momen yang paling ditunggu-tunggu oleh seluruh masyarakat muslim didunia, khususnya Indonesia dengan budaya mudiknya. Idul fitri memberikan kesan tersendiri karena menjadi momentum untuk melepas kerinduan bersama keluarga, setelah satu tahun lamanya tidak berjumpa. Namun pandemi Covid19 merubah wajah idul fitri kita dalam dua tahun terakhir ini.

Kebijakan larangan mudik membuat masyarakat Indonesia “resah” tidak bisa melaksanakan tradisi tahunan tersebut. Padahal jika kita tilik, berkumpul bersama keluarga, berbagi uang THR, hingga baju baru menjadi budaya yang mewarnai dan menyempurnakan keindahan idul fitri. Namun kebijakan tersebut tentunya bukan tanpa alasan, pandemi Covid19 yang tak kunjung usai menjadi perhatian utama pemerintah dalam memberlakukan kebijakan larangan mudik tersebut.

Kebijakan tersebut nampaknya menuai banyak penolakan ditahun kedua pandemi ini, masyarakat nampaknya sudah tidak tahan untuk melepas kerinduan bersama keluarga dikampung halaman. Hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Pusat Polling (Puspoll) mendapatkan hasil bahwasannya, 49,9% masyarakat Indonesia menolak dengan kebijakan larangan mudik, dan 20,3% masyarakat Indonesia nekat akan tetap melakukan mudik (Republika, 2021).

Fenomena tersebut tentunya menarik untuk kita cermati bersama, “kengeyelan” masyarakat Indonesia dengan semangat tradisi yang cukup tinggi adalah bagian dari pemuliaan terhadap kemanusiaan atau justru bagian dari salah kaprah? Mari kita dalami bersama.

Jika kita lihat dalam kacamata kedaulatan warga negara, “kengeyelan” masyarakat Indonesia yang nekat akan tetap melakukan mudik lebaran adalah bagian dari ketidakmampuan dalam menyelami realitas kehidupan. Berangkat dari teori individualismenya JJ Rousseau yang menyatakan bahwa “manusia lahir dan hidup secara merdeka, dia bebas melakukan apa saja asal jangan sampai mengganggu keamanan oranglain”.

Sebenarnya sampai disitu kita sudah bisa memahami bahwa kedaulatan itu tetap ada batasannya, apalagi ditengah situasi pandemi seperti sekarang ini. Bukan tidak mungkin kehadiran kita dikampung halaman akan mengancam orang disekitar kita, tidak hanya keluarga tetapi tetangga terdekat kita karena ancaman virus yang masih menghantui kita bersama. Tidak berhenti sampai disitu tentunya, hal tersebut harus disempurnakan menggunakan paham “universialisme” dimana manusia harus memahami bahwa dirinya adalah bagian dari pergaulan umum. Apa yang menjadi kehendaknya, bukan hanya untuk keperluan dirinya sendiri, melainkan untuk orang banyak. Individu harus dipahami sebagai bagian dari anggota badan, ketika salahsatu anggota badannya ada yang sakit maka sakitlah seluruh badan. (Hatta, 2008).

Pemahaman tersebut adalah hal mendasar yang harus kita miliki bersama sebagai warga negara, dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara agar kita tidak bertindak reaksioner dalam menanggapi berbagai kebijakan. Namun tentunya perlu proses memahamkan dan memahami, untuk menjaga keharmonisan karena berbeda pandangan adalah bagian dari dialektika kehidupan. Tetapi disisi lain ada perasaan mengganjal yang membuat masyarakat merasa geram dalam menanggapi kebijakan tersebut.

Hal tersebut dipicu oleh masuknya ratusan warga negara asing ke Indonesia, dimulai dari kedatangan ratusan warga negara India ke Indonesia ditengah tsunami covid yang tengah melanda negaranya. Lalu disusul dengan kedatangan 85 orang warga negara china, yang ikut memperkeruh situasi politik nasional.

Kejadian tersebut tentunya menuai banyak kritikan yang cukup deras. Disisi lain pemerintah melakukan pelarangan mudik kepada warga negaranya, bahkan hingga melakukan penyekatan antar daerah. Namun disisi lain pemerintah justru memberikan akses kemudahan kepada warga negara asing untuk masuk ke Indonesia, dengan membawa emblem-emblem sudah sesuai dengan protokol kesehatan penerbangan internasional.

Bahkan belakangan ini diketahui bahwa dari kedua warga negara asing yang masuk ke Indonesia tersebut, beberapa diantaranya ada yang dinyatakan positif covid19. Hal tersebut tentunya membuat kita semua menjadi was-was, apalagi kementrian kesehatan baru saja menginformasikan bahwa ada 4 varian baru mutasi virus corona yang telah masuk ke Indonesia (Azanella, 2021).

Gejolak tersebutlah yang membuat masyarakat kita nekat untuk melakukan mudik ditengah larangan pemerintah.” Asing saja bisa masuk ke Indonesia dengan protokol kesehatan, kenapa kita tidak?” Begitulah kira-kira pertanyaan mengganjal yang ada dalam benak hati masyarakat Indonesia. Kejadian ini mari kita refleksikan bersama, bukan tentang “boleh atau tidaknya” tetapi bagaimana kita bisa mengambil pelajaran sebagai warga negara dalam memahami dan mengkritisi berbagai kebijakan yang ada, untuk kebaikan bangsa dan negara kita tercinta ini.

Author: Muhammad Iqbal
Kader HMI HMPO Fisipol UMY

Leave a Reply

Your email address will not be published.