Sebelum teman-teman semua membaca tulisan ini, saya sebagai Penulis hanya ingin menyampaikan dua hal. Satu, bahwa tulisan ini bukanlah suatu tulisan yang sangat scientific, ilmiah, teoritis atau kekanan-kananan atau malah kekiri-kirian, lebih hanya pada suatu guyonan atau lelucon yang saya angkat karena suatu bentuk pengejawentahan pergulatan pikiran saya dari pengalaman pribadi ketika menelusuri Tawangmangu-Magetan via Gunung Lawu sendirian di malam Hari.
Kedua, saya ingin menekankan bahwa, mungkin tulisan dengan tema seperti ini sudah pernah diangkat dengan narasi yang berbeda pada jurnal-jurnal Kampus, maupun di media-media online mainstream yang contohnya media berinisial M berakhiran K atau biasa disebut Mojok, yang mungkin Penulis lain menyampaikannya dengan sangat asik, terukur, masif dan progresif. Udah kayak “Kating” menyemangati Adek-Adek Maba aja.
Bermula dari perjalanan saya untuk Pulang kampung ke Magetan, Jawa Timur dari perantauan, Yogyakarta. Di mana saya diharuskan memilih menyusuri Gunung Lawu sebagai rute perjalanan sebelum sampai pada Rumah pribadi. Pada saat itu kurang lebih saya menyusuri Tawangmangu hingga Telaga Sarangan antara jam 21.30 W.I.B – 22.00 W.I.B. dimana pada jam-jam tersebut, jalanan disitu cenderung sepi, dingin, berkabut, yang bahkan selama saya melewati Jalan tersebut, hanya saya yang lewat dari arah Barat.
Kondisi itu membuat pikiran saya malah kemana-mana, maklum sebagai Mahasiswa semester akhir selain skripsi, masalah kenapa Guru Bahasa Indonesia sering sakit sedangkan Guru matematika sering masuk saat SMA dulu masih menghantui. Namun itu sirna seketika tatkala masalah kondisi gelap dan rimbunnya pohon di jalanan sepanjang Gunung Lawu juga membuatku malah berefleksi bagaimana “wingitnya” Gunung Lawu yang ketika saya dulu mendaki Gunung tersebut, banyak ditemukan sesajen-sesajen disepanjang Jalur pendakian.
Suasana pikiran yang sudah kemana-mana, membuat hati ini juga gelisah, galau dan merana kalau kata 3 Duyung, namun ya namanya sebagai Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan pemikiran islam walau tidak terlalu islam-islam banget yang selalu berpikiran nakal agak rasional, munculnya ingatan tatkala mendaki itu malah membuatku berpikiran bagaimana kalau di masa depan, kepercayaan terkait suatu kekuatan supranatural itu tidak hilang dan malah mengikuti arus modernisasi ? tidak ada yang tidak mungkin bukan?.
Pikiranku langsung terbawa dengan bagaimana Hari ini ada suatu aplikasi semacam dompet online yang bisa dipakai untuk mengirim uang ke rekening bank pada gadget, juga sudah dapat digunakan untuk membayar zakat. Rupa-rupanya hal ini bukan hanya satu contoh suatu tindakan yang berbasis kepercayaan bisa mengikuti zaman. Beberapa minggu yang lalu, demi melaksanakan suatu program kerja organisasi, sekelompok Aktivis organisasi kemahasiswaan islam yang berwarna hijau-hitam-putih di Yogyakarta nekat melaksanakan khataman Al-Qur’an online melalui aplikasi meeting online. Pandemi menunjukan muka baiknya, memaksa kita untuk berinovasi.
Dengan adanya dua contoh itu saja, membuat saya yakin kalau misalkan kepercayaan lokal yang masih erat kaitannya dengan animism-dinamisme juga bisa mengikuti zaman. Disinilah pikiran nakalku mulai bermain, kalau misalkan sekarang sesajen didepan pohon-pohon keramat berisikan kembang, kopi, telur, gula, apem, dan lain-lain. Mungkin masa depan bisa kita lihat didepan pohon-pohon keramat akan ada boba atau thai tea, takoyaki dan nugget berbentuk alfabhet, atau odading Mang Oleh yang rasanya kek pingin jadi Superman. Bisa saja kan?.
Hari ini kita melihat ada kitab suci yang diaplikasikan pada gadget, laptop, maupun pada pc kita. Perubahan tersebut memang sangat mempermudah bagi kalangan penganut agama yang hari ini pola hidupnya tidak bisa jauh dari benda elektronik khususnya HP. Jika hingga masa depan Masyarakat penganut animisme-dinamisme masih tegar dan tak gentar dengan serbuan modernisasi yang membuat manusia semakin rasional yang artinya mereka harus adaptif tanpa meninggalkan core valuenya, maka bisa jadi di masa depan malah HP yang akan diberikan sesajen karena dianggap telah tertempeli oleh kekuatan supranatural itu sendiri, sehingga memberikan kemudahan pada manusia.
Kembali lagi saya pesankan bahwa masa lalu kita tidak pernah bisa menduga apa yang terjadi pada masa sekarang kan, logika yang sama juga dipakai untuk melihat masa depan dari kacamata masa sekarang. Semua yang saya pikirkan selama di perjalanan pulang kampung tersebut hanya sebatas pikiran nakal seorang Mahasiswa akhir yang sedang gabut dalam perjalanan yang dingin saja. Tapi kalau mau diseriusin juga tidak masalah hehe. Wallahua’lam Bisshawab