Kampus Tanpa Presiden Mahasiswa

(Demokrasi Tidak Harus Seperti Negara)

Dengan absennya kebenaran, politik mungkin juga bisa mempunyai jalan alternatif baru, misal beroperasi lewat pengandaian – pengandaian estetik. Pengandaian ini tentu juga memiliki akar dalam impian yang membangun. Kehendak estetik untuk mengkonstruksi ilusi, dan fantasi, yang membangun, yang menghadirkan keindahan dalam keteraturan yang baru. Membuat dan menghadirkan hipotesis – hipotesis baru yang eksperimental. misalnya “kampus tanpa presiden mahasiwa” , mungkin ini adalah salah satu hipotesis baru.

Bayangkan jika kalian berada di dalam kampus yang tanpa struktur Student Government. Dan mempunyai berbagai macam komunitas yang berangkat dari berbagai macam fokus perhatian dan keahlian tertentu , dan daya kreatifitas yang kaya. Dan komunitas – komunitas tersebut saling bersinergi satu sama lain, kolektif, membangun kesadaran bersama, secara kultural, tetapi semua keputusan diambil dari bawah , bukan dari atas ke bawah.

Tapi sekarang ini yang sedang terjadi dan ada, kampus atau universitas hanya dipenuhi hal-hal remeh yang serius tataran sensasionalnya saja. Dan itu juga terlihat dari sikap orang – orang di dalamnya. Kalau saja saya tidak memenuhi tanggung jawab saya kepada kedua orang tua saya, sudah sejak beberapa tahun lalu saya mengundurkan diri dari universitas saya sekarang ini, tapi apa daya saya harus tetap menjadi bagian sandiwara besar-besaran yang diadakan oleh pemuda-pemudi bangsa kita pada hari ini.

Jika saya harus dan boleh berkata sesuatu untuk menggambarkan Apa dan siapa itu “Student Government” (SEMA, DEMA, BOM-F), saya akam katakan ; “Mereka semacam sekumpulan, pengangguran yang melaporkan hasil nganggurnya di kepada pihak kampus tiap tahun, dan tololnya kampus pun percaya. orang yang merasa penting dan merasa diperhitungkan keberadaannya”, Strukturnya yang menyerupai struktur sistem kenegaraan, yang di dalamnya harus ada presiden, wakil, menteri, dan segala bentuk kepraktisan politis dalam lingkaran yang dinamai Student government, telah membuat mereka secara tidak sadar merasa jumawa dan terkena star syndrome seperti para pejabat publik kita. Kemudian mereka mendaku diri mereka sebagai wakil kita bersama-sama komplotannya. Padahal kita juga tidak pernah merasa diwakilkan, atau minta diwakili, karena memang ada atau tidaknya mereka wakil-wakil itu juga tidak menimbulkan suatu apa-apa bagi kita. Pada dasarnya semangat awal politik perwakilan ini sebenarnya adalah politik langsung.

Negara atau Student Government dijalankan oleh seluruh masyarakat dan mahasiswa melalui perwakilan-perwakilan yang dipilih secara berkala. Hanya saja mekanisme kerja di lapangan justru tidak menunjukkan adanya politik langsung tersebut. Ketika mahasiswa memilih wakil-wakilnya dalam pemilwa, seluruh mahasiswa memang diberi kesempatan memilih, namun setelah wakil-wakil itu terpilih, hubungan mahasiswa dengan wakilnya terputus. Tidak ada pola lanjutan yang menjamin keterelibatan seluruh unsur mahasiswa – mahasiswi dalam tiap perumusan kegiatan. Bila ada wakil dalam Student Government yang tidak menjalankan amanat, kita juga tidak bisa menarik kembali mandatnya. Artinya, politik langsung telah bergeser dengan sendirinya menjadi politik perwakilan secara penuh.

Memang demikianlah kenyataan yang sedang terjadi pada hari ini di kampus kampus di seluruh indonesia. Student Government dan seluruh anggota strukturalnya yang telah mengadopsi struktur kenegaraan pada hari ini, mungkin sama seperti apa yang dikatakan oleh Nietszche, ia berkata, “Negara adalah untuk kawanan yang tak berguna”, Negara modern melanggengkan diri dengan menyebarkan kebohongan-kebohongan mengenai kebebasan, dan kesetaraan, untuk mengekspansi terus-menerus kekuasaan negara”, mungkin para Pemerintah di kampus adalah sekawanan orang tak berguna yang mengdopsi struktur Negara. 

Selama kuliah, saya sudah menemui empat kali Pemilwa.  Dan saya tidak pernah menemukan pendidikan politik atau segala macam kata gantinya. Contoh kasus; mengutip tulisan bung Ajid arena; Pemilwa memang sekedar birahi mengejar kekuasaan. “Hak politik bukannya dirayakan publik, malah diprivatisasi geng tertentu” (begitu di dalam tulisannya). Sebenarnya tanpa privatisasi pun, geng itu pasti menang. Karena kelompok besar dan berkuasa adalah geng tersebut. Kita lihat saja, mulai dari undang-undang Pemilwa, panitia pelaksana dan seterusnya adalah geng mereka. Dalam hal ini kita tidak bisa melihat semua mahasiswa mempunyai akses yang sama. Benar kata tetua, bahwa mentalitas bangsa jajahan telah mendarah daging. Itu yang terlihat dalam Pemilwa di kampus saya atau mungkin di seluruh kampus di indonesia. Minder dan tidak percaya diri, banyak massa tapi tak berpower. Yang terjadi kemudian adalah “seolah-olah demokrasi”. Puluhan kali pun Pemilwa diadakan, tidak akan merubah apa-apa. Sebab, pengetahuan revolusioner jarang sampai ke pusat. Sementara pusat dibangun di atas pengetahuan yang sudah ada. Para penjaga orde yang lama sudah menentukan siapa yang akan mencapai pusat kekuasaan, dan cenderung menyaring pengganggu yang membawa ide-ide tidak konvensional.

Sebagai otokritik; masalah UKT pada tahun 2019 mengutip arena, kampus tidak memenuhi batas minimal UKT I sebanyak 5%. Dari total mahasiswa yang diterima sebanyak 4350 mahasiswa, hanya 1,52% yang masuk UKT I atau hanya 67 mahasiswa. Presentase UKT terbanyak berada pada golongan VII sebanyak 23,84% atau sebanyak 1027 mahasiswa. akibatnya  dari beberapa teman saya angkatan paling bungsu dengan kedaan latar belakang ekonominya tidak sanggup membayar biaya UKT itu harus mencari kerja untuk tambahan uang kuliahnya, menambalnya dengan hutang-piutang, juga pegadaian, tidak jarang pula diantara mereka ada yang harus mengambil pekerjaan dengan waktu yang penuh guna menyambung hidup dan menambal kekurangan ekonomi keluarga mereka.

Dalam hal ini student government seharusnya mewadahi seluruh mahasiswa, mengadvokasi, dan mengedukasi mereka dalam ranah perjuangannya. bukan malah melajukan usaha-usaha para pejabat dan birokrat kampus untuk menggembosi perjuangan mereka. Adanya tawar menawar antara pihak kampus kepada para student government, atas diajukannya berapa persen mahasiswa baru yang diterima dalam banding UKT, itu adalah salah satu kegagalan mereka, dengan tidak mengupayakan hal yang lebih jauh lagi, dan melakukan manuver-manuver yang tidak hanya diperbolehkan oleh pihak kampus. Perundingan – perundingan macam itu sudah semestinyalah tidak ada lagi di segala bentuk perjuangan gerakan mahasiswa. Yang kedua tidak adanya pangung – panggung demokrasi dan tempat nyaman untuk diskusi, kampus serasa kebun binatang, dengan isinya para binatang yang tidak buas dan pasif tapi masih saja dikerangkeng, untuk diperlihatkan kepada para wisatawan yang terkadang datang menggunakan bus – bus pariwisata dari berbagai daerah, memperlihatkan kepada para wisatawan bahwa binatang kami jauh lebih terdidik.

Sudah semestinyalah student government, memang harus bersih dari moralitas budak, dan mentalitas babu, mereka harus menyiapkan wawasan, serta kreatifitasnya lagi, dan tidak lupa pada pandangan dan keberpihakannya atas eksistensinya di dalam kampus. sehingga mereka tidak melempem dihadapan pejabat dan birokrat kampus yang berbelit-belit dan jago berkelit. Atau, bila perlu mulai hari ini secara bersama – sama kita berkata TIDAK dan mendukung PEMBUBARAN struktur di dalam Student Government yang bermacam-macam bentuknya. yang hierarkis: atas-bawah Mahasiswa secara umum dianggap sebagai rakyat yang dapat diperintah sesuai kehendak presiden dan menteri. Oleh karena itu disebut sebagai pemerintahan mahasiswa (Student Government). Untuk membuat bentuk-bentuk gerakan alternatif baru, tiap komunitas harus membentuk sebuah gerakan otonom untuk memberi arti bagi kehidupan mereka kembali, untuk merefleksikan hasrat kreatifitas dirinya sebagai ekspresi kemerdekaan. Kolektif-kolektif, komune-komune, kooperasi-kooperasi dan gerakan akar rumput dari bawah ke atas. Gerakan – gerakan tersebut dapat menggambarkan mekanisme pertahanan diri rakyat melawan keganasan kekuasaan atau segala macam bentuk struktur hierarkis yang menindas.  

Author: Farid Merah
Anggota Teater Eska dan pecinta sastra Amerika Latin

Leave a Reply

Your email address will not be published.