Agenda Transformatif HMI Cabang Yogyakarta Dalam Menyongsong Society 5.0

Saat ini kita dihadapkan dengan zaman yang serba digital, atau akan menyongsong era society 5.0. Era yang menuntut adanya sistem yang sangat mengintegrasikan dunia maya dan dunia fisik manusia. Bagaimana teknologi bisa berperan lebih besar dalam penyelesaian persoalan kehidupan. Semisal pemanfaatan Internet of Things, Big Data, dan Artificial Intelligence. Teknologi tidak semata-mata dominan untuk bisnis sebagaimana terjadi pada era Revolusi Industri 4.0. Tapi bagaimana ada keseimbangan di kehidupan manusia.

Oleh sebab itu, era tersebut akan menuntut kita melakukan transfigurasi peradaban digital, tak terkecuali bagi organisasi sekaliber Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). HMI yang notabennya adalah organisasi tertua mahasiswa Islam tentu sudah mengalami berbagai dinamika perubahan era. Namun khusus untuk saat ini, dinamika itu barangkali benar-benar berbeda dari sebelumnya, tidak lagi tentang iklim politik, tapi lebih ke integrasi teknologi ke kehidupan manusia. Lalu bisakah HMI menjawab hal tersebut? Apa saja tantangan dan peluang yang ada di HMI? Berikut kira-kira uraiannya.

Sebelum menguraikan panjang lebar, penulis perlu menyampaikan beberapa hal. Pertama, penulis merupakan kader yang berdinamika di HMI Cabang Yogyakarta. Kedua, penulis merupakan warga asli Yogyakarta. Maka dari itu, barangkali tulisan ini akan menjadi lebih baik jika spesifik pada HMI Cabang Yogyakarta saja.

Mengisi Ruang Penyeimbang

Sebagai awalan uraian, penulis mengutip perkataan Kanda Awalil Rizky di akun facebooknya. Begini kira-kira bunyinya “Jika anak-anak muda getol kembangkan bisnis start up, maka bisa menjadi pembuka jalan bagi kepentingan para oligarki imperialis di masa mendatang. Jika mereka tidak mau mengembangkan bisnis demikian, perekonomian negeri ini mungkin tidak akan bisa bergerak maju. Otoritas ekonomi yang mengelola perekonomian nasional secara tepat dan visioner lah yang bisa menyeimbangkannya”. Perkataan ini benarbenar menginspirasi saya, bagaimana seharusnya HMI Cabang Yogyakarta kemudian melakukan transfigurasi peradaban digital untuk menyongsong era 5.0.

Bagi saya, hal penting yang perlu dilakukan HMI Cabang Yogyakarta adalah menjadi penyeimbang. Bagi saya, keseimbangan itu penting untuk diwujudkan. Jangan sampai nanti peradaban digital era society 5.0 hanya dinikmati oleh kaum-kaum priyayi dan sodagar semata. Lebih dari itu, wong cilik yang notabennya adalah masyarakat bawah (akar rumput) justru perlu menjadi fokus utama. Mereka adalah para petani kecil, buruh serabutan, kaum miskin kota, kaum minoritas, dan sebagainya.

Karena sejujurnya, kita juga dihadapkan dengan era neokolonialisme. Dimana bentuk penjajahan berkamuflase menjadi teori dan ideologi. Hegemoni cara pandang kehidupan begitu terasa. Sehingga kita perlu lebih berhati-hati lagi, yang kita hadapi bukan musuh secara fisik, tapi non-fisik. Ia seringkali luput dari pandangan kita.

Agenda Transformatif HMI Cabang Yogyakarta

Upaya transfigurasi peradaban digital HMI Cabang Yogyakarta perlu memperhatikan agenda perubahan yang ditawarkan Mansour Fakih: agenda yang transformatif. Ia mengajak kita untuk senantiasa memikirkan masyarakat akar rumput. Dan memulai perubahan dari wilayah-wilayah mereka. Tentu ini adalah sebuah paradigma yang bertolak belakang dari umumnya. Karena kita harus berdialog turun ke bawah, dengan sabar menempatkan mereka sebagai subyek. Sehingga mengajak mereka merumuskan kebutuhan dan skema perubahan yang ingin diperjuangkan.

Itulah keseimbangan yang sesungguh-sungguhnya. Sehingga perubahan yang digadang-gadang bukan hanya akan dinikmati oleh masyarakat eksklusif semata, mereka yang kaya atau sarjana misalnya. Lebih dari itu, agenda perubahan harus benarbenar diturunkan ke akar rumput. Berikan kepercayaan kepada mereka, kurang-kurangi blaming the victim. Semisal label-label pemalas, emosional, jorok, bodoh, dan lain sebagainya. Karena biar bagaimanapun, mereka adalah korban sistem juga: sistem kolonial maupun neokolonial.

Apa yang ditawarkan Mansour Fakih tersebut juga selaras dengan agenda perubahan transformatif berbasis Islam yang ditawarkan Moeslim Abdurrahman. Agenda yang baginya  jalan yang paling manusiawi untuk mengubah kehidupan. Sebuah perubahan kehidupan masyarakat dari masyarakat itu sendiri. Itulah barangkali manifestasi ketauhidan dalam perubahan sosial, sebuah dialog emansipatoris tanpa memandang berbagai latar belakang. Karena hanya “Dia” sematalah yang paling berhak menilai tinggi-rendah derajat manusia.

Di samping itu, Moeslim Abdurrahman juga menegaskan mengapa agenda perubahan transformatif berbasis Islam menjadi begitu penting, itu semata dikarenakan “suara Tuhan adalah suara kaum miskin” atau “tangisnya orang lapar adalah tangisnya Tuhan”. Tuhan senantiasa bersama masyarakat akar rumput, masyarakat marginal.

Kemudian untuk mengkontekstualisasikan agenda transformatif tersebut ke dalam HMI Cabang Yogyakarta, saya menawarkan skema Perspektif Sistem Pincus Minahan. Berikut gambaran skemanya:

Gambar 1. Skema Perubahan Perspektif Sistem Pincus Minahan

Skema tersebut jika dikontekstualisasikan dengan HMI Cabang Yogyakarta berarti bagian masalah merupakan masalah kegagapan teknologi masyarakat akar rumput di Yogyakarta. HMI barangkali bisa menyasar daerah-daerah paling pelosok11 dan ber-IPM12 rendah sebagai kliennya (mitra perubahan). Daerah-daerah tersebut semisal Kepanewon Gedangsari (68,58), Saptosari (68,89), dan Girisubo (69,72). Ketiga kepanewon tersebut merupakan daerah pelosok dan ber-IPM paling rendah di Yogyakarta. Semuanya berada di wilayah Kabupaten Gunungkidul.

Dalam skema itu sendiri, posisi HMI Cabang Yogyakarta berada di sistem agen perubahan. Ia bisa seorang individu ataupun organisasi yang secara khusus melakukan perubahan terencana. Ia bisa berjuang sendiri ataupun membangun sekutu dengan berbagai agen-agen yang lainnya, semisal sesama organisasi mahasiswa, LSM, atupun pemerintah.

Tugas awal agen perubahan adalah melakukan assesmen data (penggalian informasi terkait masalah dan potensi masyarakat), menentukan tujuan (menjerjemahkan kebutuhan masyarakat menjadi tujuan), dan menentukan target (target-target perubahan semisal tokoh masyarakat atau lembaga kemasyaratan semisal karang taruna).

Dalam proses ini, HMI Cabang Yogyakarta bisa menggunakan nilai-nilai yang ada di HMI. Semisal menggunakana asas wawasan sosial dalam melakukan assesmen, artinya apakah ada gejala kematian sosial di masyarakat tersebut. Lebih lanjut, dalam menentukan tujuan juga bisa mengacu pada hakekat tujuan HMI. Semisal bagaimana agar tokoh-tokoh masyarakatnya bisa mewujudkan kesepuluh karakteristik insan ulil albab. Atau bagaimana agar lembaga-lembaga masyarakatnya bisa mewujudkan masyarakat baldhatun thayyibatun warabbun ghafur, masyarakat yang memiliki tujuh karakteristik. Sementara itu dalam menentukan target perubahan, ini lebih mengacu pada keadaan dan kebijaksanaan dilapangan.

Setelah sistem target selesai, selanjutnya adalah sistem aksi. Mula-mula HMI Cabang Yogyakarta harus menentukan strategi seperti apa yang akan digunakan untuk melakukan perubahan. Poin penting dalam hal ini, HMI Cabang Yogyakarta perlu berdialog dengan masyarakat yang dikenai. HMI Cabang Yogyakarta menempatkan mereka sebagai subyek perubahan, bukan obyek perubahan14 . HMI Cabang Yogyakarta bukan sang penyelesai masalah yang utama, karena yang utama justru masyarakat itu sendiri.

Mereka berhak secara bebas, merdeka, dan sadar menentukan strategi menjemput nasibnya sendiri. Baru kemudian strategistrategi tersebut dilaksanakan secara bersama-sama. Dilakukan pembagian tugas pelaksana dan mekanisme monitoring. Dan terakhir dilakukan evaluasi periodik dengan melihat outcome-nya.

Namun dalam keseluruhan skema tersebut, yang perlu digaris bawahi adalah bahwa HMI Cabang Yogyakarta tidak hanya sekedar melakukan perubahan sosial yang berbasis ke-Islaman atau ke-HMI-an. Lebih dari itu, secara spesifik dan konkret HMI Cabang Yogyakarta perlu mengelaborasikannya dengan transfigurasi digital. Elaborasi ini tidak bisa dilakukan hanya secara parsial. Sehingga dalam keempat sistem tersebut harus selalu berorientasi pada kemelekan teknologi. Semisal dengan memasifkan literasi digital, menginisiasi strart up atau platform berbasis akar rumput, dan lain sebagainya.

Karena jika melihat peluang yang ada, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mustahil. Misalnya dengan melihat jumlah pengguna internet di Indonesia yang selalu meningkat. Kemudian pelaku terbanyak literasi digital juga merupakan perguruan tinggi (56, 14%)15. Hal ini menunjukkan bahwasanya kader-kader HMI Cabang Yogyakarta secara tidak langsung sudah terbiasa dengan hal-hal digital. Apalagi mereka berada di Yogyakarta yang notabennya adalah kota pelajar dengan segudang perguruan tinggi. Tentu iklimnya akan lebih terasa. Itulah tantangan dan peluang bagi HMI Cabang Yogyakarta.

Tantangannya adalah adanya gap yang tajam antara priyayi dan sodagar dengan wong cilik dalam pemanfaatan teknologi. Sehingga HMI Cabang Yogyakarta dapat mengambil peran penyeimbang. Dalam upaya mengambil peran tersebut pun, HMI Cabang Yogyakarta juga memiliki berbagai peluang yang siap jika sewaktu-waktu didayagunakan. Dan penulis optimis, HMI Cabang Yogyakarta akan bisa merealisasikan semua itu. Karena jika dulu Kanda Anies Baswedan mempelopori “Indonesia Mengajar”, maka kini HMI Cabang Yogyakarta akan mempelopori “HMI Mengakar”. Mengakar rumputkan peradaban digital.

Transfigurasi yang sesungguh-sunggunya. Sehingga mata rantai memandang sebelah mata masyarakat akar rumput akan segera diputus. Karena sebagaimana perkataan Moch Nur Ichwan, “Saya termasuk yang berpendapat bahwa peradaban itu dibentuk oleh bukan hanya oleh aktor-aktor besar (nabi, raja, ilmuwan), tetapi juga petani, difabel, dan sub-altern lainnya. Mereka juga aktor-aktor peradaban dalam dunia Islam”.

Author: Dany Mustafa
Pengurusu Bidang Studi Peradaban HMI Cabang Yogyakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published.